Selanjutnya, kata Cakraningrat, surat kekancingan tersebut akan diserahkan kepada Tepas Hageng Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dengan pengembalian kekancingan itu, maka gelar serta hak Kardi sebagai abdi dalem keraton dihapus. Penjelasan Sultan Sri Sultan Hamengku Buwono X menjelaskan pergantian gelar yang disandangnya, yang sebelumnya tercakup dalam isi sabda raja yang dikeluarkan pada 30 April 2015.
Sultan yang mengenakan kemeja batik duduk bersila didampingi istri, GKR Hemas, menjelaskan ihwal pergantian gelar yang disandangnya di hadapan masyarakat dari berbagai daerah, di Dalem Wironegaran, Yogyakarta, yang merupakan kediaman putri pertamanya, GKR Mangkubumi, Jumat (8/5).
Sultan mengatakan, sejak sabda raja tersebut dikeluarkan, gelar yang disandangnya berubah menjadi 'Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senapati Ing Ngalaga Langgeng Ing Bawono Langgeng, Langgeng Ing Toto Panoto Gomo'.
Gelar itu mengubah gelar sebelumnya yakni 'Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakarta Hadiningrat'.
Menurut Sultan, pergantian nama tersebut merupakan dawuh atau perintah dari Allah SWT melalui leluluhurnya. Dengan demikian tidak bisa dibantah, dan hanya bisa menjalankan saja.
"Dawuh itu mendadak. Ini kewenangan Gusti Allah, dan tidak boleh dibantah," katanya.
Mengenai gelar Buwono menjadi Bawono, Sultan menjelaskan Buwono memiliki arti jagad kecil, sementara Bawono memiliki arti jagad besar.
"Kalau disebut Buwono daerah, ya Bawono berarti nasional. Kalau Buwono disebut nasional, Bawono berarti internasional," kata dia.
Selanjutnya, perubahan "kaping sedoso" menjadi "kasepuluh", adalah untuk menunjukkan urutan. Sebab "kaping" memiliki arti hitungan tambahan, bukan "lir gumanti" (urutan). "Seperti "kapisan" (pertama), "kapindo" (kedua), "katelu" (ketiga) dan seterusnya. Jadi tidak bisa "kaping sedoso" karena dasarnya "lir gumanti", ujar Sultan.
Sedangkan tambahan "Suryaning Mataram" menunjukkan berakhirnya perjanjian Ki Ageng Pemanahan dengan Ki Ageng Giring yang merupakan periode Mataram lama dari zaman Kerajaan Singasari sampai Kerajaan Pajang.
Sementara, mulai zaman Kerajaan Mataram dengan Raja Panembahan Senapati hingga Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat saat ini merupakan Mataram baru.
Adapun penggantian "Kalifatullah Sayidin" diganti "Langgeng Ing Toto Panoto Gomo", menurut Sultan menunjukkan berlanjutnya tatanan agama Allah di jagad. "Hanya itu yang bisa saya artikan, kalau lebih dari itu nanti jadi ngarang sendiri, dan belum tentu benar. Saya hanya sekadar menyampaikan 'dawuh'," katanya.
Sultan pada kesempatan itu juga menjelaskan penggantian nama GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi tidak dilandasi niat ingin menjadikan putri pertamanya itu menjadi putri mahkota.
"Pokoknya saya menetapkan GKR Pembayun menjadi Mangkubumi sesuai 'dawuh' (perintah). Lelakunya seperti apa, ya saya tidak mengerti. Saya cuma 'didawuhi' atau diperintah menetapkan, ya saya tetapkan," katanya. (Antara)