Perjalanan Kontroversi Sabda Raja Yogyakarta

Sabtu, 09 Mei 2015 | 07:27 WIB
Perjalanan Kontroversi Sabda Raja Yogyakarta
Sultan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X, menyampaikan titah Sabdatama di Bangsal Kencana, Keraton Yogyakarta, Jumat (6/3) [Antara/Agus Nugroho].
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Dibahas Para adik Sultan HB X kemudian menggelar pertemuan di Dalem Yudhanegaran, Yogyakarta, 7 Mei, membahas polemik yang terjadi di internal keraton pascadikeluarkannya sabda raja itu.

Adik Sultan yang hadir dalam pertemuan tersebut antara lain Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH) Pakuningrat, GBPH Suryodiningrat, GBPH Suryonegoro, GBPH Suryomataram, GBPH Prabukusumo, GBPH Yudhaningrat, serta GBPH Cakraningrat.

Dalam pertemuan itu juga diundang perwakilan dari berbagai elemen serta tokoh masyarakat untuk menyampaikan pandangan dan aspirasi mereka terkait masa depan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. GBPH Suryodiningrat mengatakan pertemuan tersebut untuk memusyawarahkan sikap bersama para adik Sultan menanggapi sabda raja tersebut.

"Jadi kami tidak ingin sendiri-sendiri menyikapi ini. Yang jelas kami ingin semua kembali seperti semula," kata dia.

Para tokoh serta perwakilan elemen masyarakat yang hadir dalam pertemuan itu diharapkan pula memberikan masukan untuk mengurai persoalan di keraton ini.

GBPH Suryodiningrat mengatakan isi kesepakatan dalam pertemuan tersebut langsung disampaikan kepada Sultan HB X di Keraton Kilen (kediaman Sultan). Ia optimistis persoalan internal keraton ini akan segera terselesaikan.

"Kami tidak ingin berasumsi. Kami berpikiran positif saja, bahwa semua akan dapat diselesaikan," katanya.

Sementara itu, seorang Abdi Dalem Keprajan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat bernama Mas Wedana Nitikartya mengembalikan kekancingan atau surat keputusan pengukuhan sebagai abdi dalem kepada keraton, Kamis (7/5), sebagai bentuk protes atas sabda raja tersebut. Pengembalian surat keputusan itu dilakukan di Dalem Yudanegaran, Yogyakarta.

Abdi dalem bernama asli Kardi itu diangkat menjadi Abdi Dalem Keprajan dengan gelar Mas Wedana Nitikarya sejak dirinya menjabat Kepala Kejaksaan Negeri Yogyakarta pada 31 Agustus 2011.

"Karena tidak lagi bergelar Hamengku Buwono, maka saya merasa Sri Sultan HB X bukan lagi raja, sehingga 'kekancingan' saya kembalikan," kata Kardi.

Surat kekancingan tersebut dikembalikan, dan diserahkan kepada adik Sultan HB X, GBPH Cakraningrat di hadapan sejumlah wartawan, serta disaksikan GBPH Prabukusumo. Sultan HB X pada 30 April 2015 mengeluarkan sabda raja atau perintah raja yang berisi lima poin, di antaranya mengganti nama Buwono menjadi Bawono, serta menghapus gelar Kalifatullah.

Sebelumnya, Sri Sultan HB X memiliki gelar Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakarta Hadiningrat.

Menurut Kardi, dengan penggantian gelar tersebut, kekancingan tidak lagi memberikan rasa tenteram, karena tidak lagi berasal dari Sultan yang dulu mengayomi (melindungi).

"Dulu saya merasa nyaman, tenteram mendapatkan kekancingan dari Sultan, tapi karena sudah tidak lagi Kalifatullah, saya merasa tidak lagi diayomi," kata Kardi.

GBPH Cakraningrat mengatakan menerima pengembalian "kekancingan" tersebut yang dinilai sebagai hak abdi dalem. Peristiwa itu, menurut dia, baru terjadi untuk pertama kalinya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI