Ketua Serikat Perempuan Indonesia Provinsi Riau, Helda Khasmi, mengatakan bencana asap merupakan dampak kecil dari aksi pembakaran hutan dan lahan.
"Dampak yang lebih besar lagi dari itu adalah persoalan ekonomi," kata Helda di gedung Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (18/9/2015).
Hulu persoalan ini adalah pembukaan perkebunan kelapa sawit. Helda mengungkapkan dalam 10 tahun terkahir, perkebunan kelapa sawit di Riau semakin bertambah luas.
Berdasarkan data Gerakan Rakyat Riau Melawan Asap, pada tahun 2004, areal perkebunan kelapa sawit swasta seluas 2.458.520 hektar, kemudian 2014 luasannya bertambah 100 kali lipat atau 5.656.105 hektar.
"Tidak hanya itu, jumlah perusahaan sawitnya juga ikut bertambah, pada tahun 2015 ini, jumlah perusahaan sawitnya menjadi 410 perusahaan. Namun, yang mendominasi adalah SMG," kata Helda.
Ekspansi perusahaan, katanya, membuat masyarakat lokal semakin terdesak. Kondisi tersebut kemudian menimbulkan konflik, seperti bentrokan antara masyarakat dan korporasi. Namun, katanya, bukannya dilindungi negara, masyarakat justru ditangkap dan rumahnya digusur.
"Ekspansi tersebut membuat ratusan rumah tergusur, ratusan warga ditangkap, dan menewaskan sejumlah balita," katanya.
"Petani yang kehilangan tanahnya tidak lagi bisa melakukan aktivitas petani, sementara bagi perempuan tani, perampasan lahan telah menjauhkan dirinya dari akses terhadap sarana produksi. Mereka pun harus menjadi buruh harian lepas dengan upah yang begitu rendah di perusahaan yang berdiri di atas tanahnya. Sementara bagi pemuda, mereka telah kehilangan aksesnya untuk pendidikan," Helda menegaskan.