Suara.com - Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP dinilai belum bersifat inklusif.
Pasalnya, dinilai belum mengakomodir pemenuhan hak atas keadilan berbagai kelompok rentan, salah satunya bagi para pencari suaka yang menetap di Indonesia.
Padahal menurut Suaka, lembaga yang fokus mengadvokasi para pengungsi korban konflik dan pencari suaka, KUHAP bukah hanya ditujukan bagi warga negara Indonesia, melainkan semua orang yang berada di wilayah Indonesia.
Ketua Suaka, Atika Yunita Paraswati menyoroti salah satu isu yang krusial, yakni ketika para pencari suaka didudukan di persidangan dan hakim mengharuskan pendampingan penerjemah yang bersertifikat.
Persoalannya banyak dari para pencari suaka yang hanya bisa berbahasa ibu, bukan bahasa formal dari asal negaranya.
Seperti pengungsi dari Afghanistan yang hanya bisa berbahasa Persia atau Farsi.
"Enggak mungkin ada yang bisa bahasa Farsi, bukan bahasa-bahasa karakteristik, bahasa Ibu mereka, enggak ada yang tersumpah. Itu kita nyari seluruh Indonesia tuh kayak enggak mungkin," kata Atika dalam sebuah diskusi di Jakarta Selatan, Jumat (15/8/2025).
![Ilustrasi Undang-Undang. [Pexels]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/07/15/68089-ilustrasi-undang-undang.jpg)
Berdasarkan sejumlah kasus yang mereka tangani terdapat beberapa hakim progresif yang memberikan diskresi, yang mengizinkan penerjemah berasal dari komunitas para pencari suaka bisa berbahasa Inggris atau bahasa Indonesia.
Namun karena hanya diputuskan berdasarkan diskresi, sifatnya menjadi tidak mengikat, sehingga harus diatur dalam ketentuan, khususnya bagi para pencari suaka yang berada di Indonesia.
Baca Juga: RUU KUHAP Tanpa Perspektif Disabilitas: Mimpi Buruk Bagi Keadilan!
Karena bagi Atika, siapa pun berhak mendapatkan keadilan, tanpa memandang asal-usul kewarganegaraanya.
Selain itu, yang menjadi sorotan Suaka adalah penanganan perkara ketika para pencari suaka melaporkan tindak pidananya yang dialami ke aparat penegak hukum.
Tak jarang kasus mereka ditolak, atau tidak ditindaklanjuti karena persyaratan administrasi, seperti dokumen identitas.
Padahal para pencari suaka atau pun pengungsi tidak memiliki dokumen identitas pribadi seperti KTP atau paspor.
Untuk itu, mereka berharap RUU KUHAP juga mengakomodir penanganan hukum bagi para kelompok rentan seperti para pencari suaka.
Khususnya meningkatkan pemahaman soal hak asasi manusia atau HAM bagi aparat penegak hukum.