Cerita 2 Perempuan, Harta Terkuras karena Rokok

Senin, 19 Juni 2017 | 19:32 WIB
Cerita 2 Perempuan, Harta Terkuras karena Rokok
Korban rokok warga Parung Panjang, Mardiah. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)

Perempuan berkerudung itu mengenang masa-masa tinggal di Cilandak, Jakarta Selatan. Rumahnya tak sesempit saat ini. Dulu dia tinggal bersama 5 adiknya, seorang anak angkat, dan seorang sepupu, plus 5 anak kandungnya.

“Rumah selalu ramai, dan ngebul,” katanya seraya tertawa kecil. Kata dia, sebagian adik lelakinya merokok juga. “Kami keluarga rokok,” tambahnya.

Mardiah merasa dimiskinkan oleh rokok. Di usia senjanya, dia masih berhadapan dengan kesulitan biaya hidup. Mardiah berseloroh, seharusnya saat ini dia sudah mempunyai rumah sendiri dan punya berbagai bisnis yang dia rintis sejak usia remaja sampai suami pertamanya meninggal.

Kini hidup Mardiah ditopang dari penjualan kerupuk udang dan kerja serabutan.

“Kalau ada kerjaan apa saja, kasih tahu saya. Apa saja, asal dapat uang.”

Mardiah, mandiri sejak usia 12 tahun. Setelah menikah di tahun 1970-an, mulai membukan berbagai usaha mulai dari berjualan nasi uduk, jasa jahit, jasa rias pengantin dan salon, sampai berdagang berbagai macam barang sudah dilakoni. Itu dia lakukan karena penghasilan mendiang suami pertamanya tidak cukup untuk menghidupi 5 anaknya.

“Di atas kertas, kalau dia nggak merokok. Pasti cukup,” jelasnya.

Sejak awal menikah, uang di rumah tangganya mengalir seperti air. Tahun 1980-an, Sugimin bekerja di perusahaan otomotif Astra dan bergaji Rp250 ribu sebulan. Sekira Rp100 ribu habis untuk membeli rokok dalam sebulan. Sempat menganggur sekitar 5 tahun, Sugimin bekerja sebagai penjaga keamanan atau satpam di salah satu Apotek di Bintaro, gajinya tidak jauh beda tapi harga rokok saat itu terus naik.

Baca Juga: Berhenti Merokok, Lelaki Ini Mampu Beli Motor Baru untuk Mudik

“Dihitung, yah hampir setengah untuk beli rokok saja. Buat belanja sehari-hari bagaimana? Anak sekolah? Jajan anak? Kadang sampai 7 bungkus sehari. Dua anak (lelaki) saya juga merokok, mintanya sama siapa?” tanya dia dengan wajah menegang.

Mulai awal tahun 1990-an, Sugimin sakit-sakitan. Dia memilih tidak bekerja tetap di perusahaan, tapi memilih serabutan. Alasannya, dia berulang kali masuk rumah sakit karena keluhan pernapasan. Nafasnya sesak kalau berjalan lebih dari 1 jam.

“Saya bolak balik ke rumah sakit. Ada saja sakitnya, mulai dari sesak nafas, demam tinggi sampai keluhan pusing dan masalah pencernaan,” paparnya.

Begitu juga anak keduanya, Muhammad Yamin yang sempat lama masuk rumah sakit di akhir tahun 90-an. Yamin menderita penyakit paru-paru dan dirawat 10 hari di Rumah Sakit Fatmawati. Paru-parunya menghitam, terdapat lubang-lubang kecil dan flek.

“Kata dokter, paru-parunya tertutup asap rokok sampai harus dikasih nafas bantuan dan infus. Setelah membaik, dia merokok lagi. Sampai setahun kemudian meninggal karena penyakit yang sama,” keluhnya.

Mardiah tidak ingat pasti jumlah uang yang dia keluarkan untuk pengobatan Yamin. Dia hanya ingat, tabungannya hasil berdagang selama 5 tahun terakhir terkuras. Begitu anaknya meninggal, Mardiah memeriksakan diri ke dokter karena keluhan sesak nafas. Hasilnya, paru-paru Mardiah berwarna hitam sama seperti milik mendiang Yamin.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI