Ketika ditemui Suara.com, Widayat tengah berjualan tisu dan masker hidung di dekat jalur masuk sepeda motor Blok M Square, Jakarta Selatan, Senin (3/7/2017), siang. Lelaki berusia 70 tahun itu tidak pulang ke kampung halaman, Subang, Jawa Barat, di Lebaran ini karena tidak punya uang.
Widayat bercerita ketika sebagian besar mudik dihari libur Lebaran kemarin, dia tetap berjualan.
Widayat mengatakan keuntungannya berjualan tisu dan masker hidung tidak seberapa. Tetapi, dia tetap bersyukur.
"Kalau masker sekali pakai untung Rp500 per buah. Dari agen Rp500 saya jual Rp1.000," kata Widayat.
Widayat mengaku tidak mau terlalu tinggi mencari untung karena dia khawatir malah barang tidak laku dijual. Dengan untung Rp500 per pics saja, dia sudah bahagia.
“Saya nggak mau ambil untung banyak-banyak yang penting bisa makan untuk anak cucu saya,” ujarnya.
Total keuntungan Widayat setelah dipotong untuk setoran kepada agen setiap hari rata-rata Rp20 ribu. Kalau sedang beruntung, dia bisa mendapatkan Rp50 ribu.
Widayat kemudian mengenang ketika kondisinya masih segar bugar. Ketika itu, dia sangat mobile sehingga keuntungan lebih besar. Setiap hari, dia jualan dari satu bus ke bus lain di terminal Blok M.
Tapi, itu sudah 10 tahun yang lalu. Semenjak sakit keras, Widayat sudah tidak bisa leluasa berdagang dengan naik turun bus.
Widayat menderita sakit kulit dan mata. Tapi, dia tidak tahu jenis penyakit yang dideritanya. Tapi ciri-ciri fisiknya, jari-jari tangan berbentuk tidak lazim, ada semacam bekas luka. Jari kaki juga wujudnya tidak lazim. Sementara mata sebelah kiri berair terus. Meskipun memiliki keterbatasan, dia tetap optimistis menatap hidup.
“Saya punya penyakit, tapi saya biarin gitu aja. Nggak pernah ke dokter karena nggak ada biaya," kata dia.
Widayat mengaku sudah lupa kenapa dia punya penyakit seperti itu.
“Saya lupa kenapa bisa kayak gini, tapi dulu saya pernah kerja di optik daerah Senen. Eh tiba-tiba aja kayak gini,” kata dia.
Widayat sudah makan asam pengalaman hidup di Jakarta. Ketika bercerita tentang pendapatan, dia berkali-kali mengucap syukur walaupun kecil. Dia juga mengatakan yang terpenting baginya keluarga bisa makan, soal pengobatan sakit itu nomor dua.
Widayat tinggal di Joglo, Kembangan, Jakarta Barat. Dia tinggal bersama istri, tiga anak, dan dua cucu. Istrinya yang dulu penjual makanan bala-bala kini sudah tidak bekerja lagi karena sakit-sakitan. Dari ketiga anak, yang sudah bekerja satu anak. Kenapa Widayat tetap bekerja, padahal satu anaknya sudah bisa mencari nafkah untuk keluarga?
"Anak saya yang pertama cuma penjahit di konveksi gajinya cuma Rp1,2 juta. Nggak mau nyusahin anak juga,” tuturnya
Prinsip hidup Widayat adalah tetap berusaha, pasti ada jalan keluarnya.
"Bapak mah bisanya cuma jualan kayak gini doang. Kondisinya juga udah kayak gini. Susah jalan juga, tapi kalau mau berusaha mah pasti ada jalan," katanya.
Widayat mengaku sebenarnya ingin sekali pulang ke kampung halaman. Tapi, dia harus realistis.
"Untung saja cuma Rp500 dik, buat makan aja udah bersyukur. Padahal pengen pulang kampung ke Subang, tapi nggak ada ongkos istri juga sudah nggak kerja," kata Widayat.
Widayat bercerita ketika sebagian besar mudik dihari libur Lebaran kemarin, dia tetap berjualan.
Widayat mengatakan keuntungannya berjualan tisu dan masker hidung tidak seberapa. Tetapi, dia tetap bersyukur.
"Kalau masker sekali pakai untung Rp500 per buah. Dari agen Rp500 saya jual Rp1.000," kata Widayat.
Widayat mengaku tidak mau terlalu tinggi mencari untung karena dia khawatir malah barang tidak laku dijual. Dengan untung Rp500 per pics saja, dia sudah bahagia.
“Saya nggak mau ambil untung banyak-banyak yang penting bisa makan untuk anak cucu saya,” ujarnya.
Total keuntungan Widayat setelah dipotong untuk setoran kepada agen setiap hari rata-rata Rp20 ribu. Kalau sedang beruntung, dia bisa mendapatkan Rp50 ribu.
Widayat kemudian mengenang ketika kondisinya masih segar bugar. Ketika itu, dia sangat mobile sehingga keuntungan lebih besar. Setiap hari, dia jualan dari satu bus ke bus lain di terminal Blok M.
Tapi, itu sudah 10 tahun yang lalu. Semenjak sakit keras, Widayat sudah tidak bisa leluasa berdagang dengan naik turun bus.
Widayat menderita sakit kulit dan mata. Tapi, dia tidak tahu jenis penyakit yang dideritanya. Tapi ciri-ciri fisiknya, jari-jari tangan berbentuk tidak lazim, ada semacam bekas luka. Jari kaki juga wujudnya tidak lazim. Sementara mata sebelah kiri berair terus. Meskipun memiliki keterbatasan, dia tetap optimistis menatap hidup.
“Saya punya penyakit, tapi saya biarin gitu aja. Nggak pernah ke dokter karena nggak ada biaya," kata dia.
Widayat mengaku sudah lupa kenapa dia punya penyakit seperti itu.
“Saya lupa kenapa bisa kayak gini, tapi dulu saya pernah kerja di optik daerah Senen. Eh tiba-tiba aja kayak gini,” kata dia.
Widayat sudah makan asam pengalaman hidup di Jakarta. Ketika bercerita tentang pendapatan, dia berkali-kali mengucap syukur walaupun kecil. Dia juga mengatakan yang terpenting baginya keluarga bisa makan, soal pengobatan sakit itu nomor dua.
Widayat tinggal di Joglo, Kembangan, Jakarta Barat. Dia tinggal bersama istri, tiga anak, dan dua cucu. Istrinya yang dulu penjual makanan bala-bala kini sudah tidak bekerja lagi karena sakit-sakitan. Dari ketiga anak, yang sudah bekerja satu anak. Kenapa Widayat tetap bekerja, padahal satu anaknya sudah bisa mencari nafkah untuk keluarga?
"Anak saya yang pertama cuma penjahit di konveksi gajinya cuma Rp1,2 juta. Nggak mau nyusahin anak juga,” tuturnya
Prinsip hidup Widayat adalah tetap berusaha, pasti ada jalan keluarnya.
"Bapak mah bisanya cuma jualan kayak gini doang. Kondisinya juga udah kayak gini. Susah jalan juga, tapi kalau mau berusaha mah pasti ada jalan," katanya.
Widayat mengaku sebenarnya ingin sekali pulang ke kampung halaman. Tapi, dia harus realistis.
"Untung saja cuma Rp500 dik, buat makan aja udah bersyukur. Padahal pengen pulang kampung ke Subang, tapi nggak ada ongkos istri juga sudah nggak kerja," kata Widayat.
"Kalau mau berusaha mah pasti ada jalan," Widayat menambahkan. (Rani Febriyani)