Pendamping Anak Kritik Polisi yang Pakai Bahasa Kurang Ajar

Siswanto Suara.Com
Jum'at, 01 Desember 2017 | 15:29 WIB
Pendamping Anak Kritik Polisi yang Pakai Bahasa Kurang Ajar
Pengacara orangtua Angeline dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kota Denpasar, Siti Sapurah, Selasa (16/6/2015). [suara.com/Luh Wayanti]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
Pendamping Hukum Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Denpasar Siti Sapurah mengkritik sikap sebagian anggota kepolisian yang menangani kasus pelecehan seksual terhadap anak.

"Saya melihat empati mereka sangat kecil kepada korban, terus penegakan hukum yang sangat jauh dari keadilan yang di undang-undang perlindungan anak yang sudah disosialisasikan," ujar Siti kepada Suara.com, Jumat (1/12/2017).

Siti merupakan aktivis yang dulu pernah mendampingi keluarga bocah bernama Angeline di Denpasar . Angeline, bocah yang meninggal secara tragis. Saat ini, Siti masih menangani sejumlah kasus kekerasan terhadap anak.

Siti mengungkapkan kerap memarahi oknum yang berbicara dengan kata-kata yang kurang etis kepada korban pelecehan seksual.

"Misalnya aparat ngomong ini kan bapak kandungmu, apakah kamu tidak kasihan kalau dia dipenjara, nanti kamu nggak punya bapak diketawai sama teman-teman," kata Siti menirukan ucapan petugas.

"Ini kan bahasa-bahasa yang kurang ajar ya, yang selalu diberikan kepada anak-anak didepan penyidik," Siti menambahkan.

Siti meminta semua aparat dan masyarakat mempunyai mindset yang sama, terhadap anak-anak yang menjadi korban pelecehan seksual.

"Kadang-kadang korban dibawa 10 tahun itu masih bisa kita perjuangin bahasanya, kalau yang udah diatas 12 tahun pasti ditanya sama polisi: kamu menikmati nggak saat diperkosa," kata Siti.

Menurut dia sikap anggota yang demikian justru membuat para predator anak senang karena mendapatkan pembelaan.

Penanganan kasus pelecehan seksual membutuhkan keseriusan. Kasus semacam ini, kata Siti, sebagian besar tidak memiliki saksi mata. Siti menemukan kasus polisi menjadikan alasan ketiadaan saksi mata sebagai alasan tidak dapat menjerat pelaku.

"Seperti satu kasus yang saya dampingi, polisi tidak mau menangkap pelaku karena tidak adanya saksi mata. Kita harus mengubah mindset kita, bahwa kejadian seperti ini tidak mungkin ada saksi mata," kata Siti.

"Dimana polisi hanya melihat apakah vagina korban tidak robek, hanya dicolek saja luar vagina anak, maka sudah dinyatakan sebagai pelecehan seksual. Karena itu menyentuh badan yang tidak boleh disentuh," Siti menambahkan.

Siti juga mengatakan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak kerap dijadikan panduan menangani kasus pelecehan seksual anak, padahal sudah ada Perppu Nomor 1 Tahun 2016 yang memuat perubahan atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.

"Aparat seharusnya melihat Perppu Nomor 1 Tahun 2016, karena ada pasal-pasal yang menjerat pelaku yang lebih lama, ada yang 20 tahun sampai hukuman mati," ujar Siti.

Perppu Nomor 1 Tahun 2016 menjelaskan bahwa pidana yang melakukan pelecehan akan dipenjara selama lima tahun dan paling lama 15 tahun, sedangkan dalam kasus pelecehan yang dilakukan oleh anggota keluarga korban maka akan ditambah sepertiga dari awalnya.

"Kalau lima tahun dia (pelaku pelecehan) keluar dari penjara bisa saja dia melakukan hal tersebut lagi pada anggota keluarganya yang lain," ujar Siti.

"Bukan hanya undang-undang Nomor 35 tahun 2014 yang dilihat, tetapi juga Perppu Nomor 1 Tahun 2016," Siti menambahkan.

Kurang edukasi

Siti juga menekankan pentingnya edukasi orangtua terhadap anak tentang anggota tubuh yang bersifat privasi -- yang tidak diperbolehkan disentuh oleh orang lain.

"Kenapa ini semua bisa terjadi. karena secara edukasi orangtua merasa tabu untuk memperkenalkan badan privasi anak kepada anak, perlu sekali orangtua terutama seorang ibu untuk menjelaskan hal-hal tersebut," kata Siti.

Siti menjelaskan terdapat empat anggota tubuh yang harus dijaga yang tidak boleh disentuh oleh siapapun, di antara lain, mulut, bagian dada bagi perempuan, alat kelamin, dan lubang dubur.

Keempat bagian tubuh itu tidak diperbolehkan untuk disentuh ataupun diraba orang lain, apalagi dipaksa melakukan hubungan seksual.

"Harus dijelaskan kepada anak perempuan terutama, ini vagina harus dijaga, dikasih penjelasan agar anak-anak paham," kata Siti.

"Orangtua harus mengajarkan pada anak saat anak-anak sudah mulai bisa berbicara, jadi dijelasin kalau bagian ini tidak boleh disentuh orang lain," Siti menambahkan.

Anak-anak yang mengalami pelecahan seksual akan mengalami trauma sepanjang hidupnya. Lebih parah lagi, masa depan bakal terganggu.

"Intinya penegakan hukum dan mindset kita harus sama," kata Siti.

Kasus di Bali

Siti kemudian bercerita tentang situasi kasus pelecehan seksual di Pulau Dewata. Dia menyebut daerah ini menjadi surga bagi kaum pedofil.

Bali, kata dia, merupakan kota kedua setelah Jakarta yang tertinggi kasus pelecehan seksual.

"Lebih banyak di Jakarta, Bali kemudian di Medan,"tambahnya.

Menurut Siti persoalan di Bali pelik. Siti sangat khawatir dengan masa depan anak-anak di Bali.

"Ketika orang lokal melakukan pelecehan maka akan berusaha sekuat tenaga untuk dilindungi, agar nama baik tidak tercemar," ujar Siti. (Julistania)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI