Karena itulah, doktor lulusan Pontificia Universitas Gregoriana, Roma, Italia, itu mempertanyakan dasar ideologis Rocky yang menyebut ”kitab suci adalah fiksi”.
”Maaf, menurut saya, dia justru bisa jadi tidak menghargai ‘tradisi’ dengan tidak membedakan ‘kanon kitab suci’ dan buku fiksi,” kata penulis buku "Paradigma Asia, Pertautan Kemiskinan & Kereligiusan..." (1997) ini.
Ia mengakui, terdapat unsur mitologis—gaya penulisan yang mengandung konsepsi tentang hal-hal yang suci di suatu kebudayaan—dalam kitab suci.
Tapi, terusnya, unsur mitologis itu tak bisa secara serampangan direduksi menjadi sebuah fiksi atau dongeng.
”Bahwa ada unsur mitologis dalam setiap tradisi religius tidak dipungkiri. Tetapi, menyederhanakan soalnya dengan menganggap semuanya dongeng, berarti tidak menghargai proses pewarisan iman,” terangnya.
Rubianto memafhumi, pernyataan-pernyataan Rocky tersebut berada dalam konteks percaturan politik nasional, bukan murni untuk mengkaji teks-teks suci.
Namun, sambungnya, sebagai seorang dosen filsafat, Rocky seharusnya melancarkan kritik secara jernih menganai realitas politik.
“Filsafat mengajak kita berpikir kritis dan jernih, bukan mengambang di tengah dunia politik yang sudah tunggang langgang,” tandasnya.
Baca Juga: Ditabrak Model Cantik Tiara Ayu, Kini Sebagian Kaki Irfan Putus