Dilarang Rayakan Natal, Umat Kristiani Dharmasraya: Kami Rela Tapi Menangis

Reza Gunadha Suara.Com
Selasa, 24 Desember 2019 | 16:15 WIB
Dilarang Rayakan Natal, Umat Kristiani Dharmasraya: Kami Rela Tapi Menangis
ILUSTRASI - Patung Yesus abad ke-18 di Spanyol yang berisi tulisan misterius buatan tahun 1777. [Mirror/Da Vinci Restauro]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama di Sumatera Barat, Hendri dalam siaran persnya hari Minggu (22/12), menyatakan pemerintah setempat hanya membatasi perayaan Natal di luar tempat ibadah.

Ia juga mengatakan keputusan ini adalah hasil kesepatakan dengan sejumlah kelompok dan forum umat beragama, yang sepakat untuk merayakannya di rumah masing-masing.

"Pelaksanaan ibadah umat Kristen tidak dilarang. Namun, kalau berjamaah silakan dilaksanakan di tempat resmi yang sudah disepakati," katanya.

Sudah banyak kasus serupa

Pusat Studi Antar Komunitas (Pusaka), lembaga yang mengadvokasi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Sumatra Barat, tak hanya mengecam sikap Pemkab Dharmasraya.

Organisasi juga mengkritisi sikap pemerintah pusat yang belum menawarkan solusi agar hak jemaat Stasi Anastasi untuk merayakan Natal bisa dipenuhi.

"Pemerintah hanya ribut pada isu tidak ada pelarangan dan mengatakan sudah ada kesepakatan. Mana ada kesepakatan sepihak? Kesepakatan itu harusnya mewadahi aspirasi kedua pihak," katanya.

"Kalau tidak ada pelarangan, faktanya warga harus merayakan Natal di kota lain. Itu artinya sama saja tidak boleh beribadah di daerahnya," tambah Sudarto.

Ia menambahkan organisasinya kini sedang menangangi delapan kasus serupa, termasuk di Jorong Kampung Baru Nagari Sikabau.

Baca Juga: Heboh Larangan Natal, Bagaimana Nasib Umat Kristiani di Dharmasraya?

Menurutnya, Sumatera Barat memang memiliki keunikan dengan kuatnya penerapan syariat Islam, tapi sebagai bagian dari NKRI maka "ada aturan bersama yang harus diakui setiap warga negara".

"Tidak boleh juga karena ini daerah Islam, pemeluk agama lain tidak boleh beribadah disitu," kata Sudarto.

Yayasan demokrasi dan perdamaian, SETARA Institute juga mengatakan pemerintah perlu membuat kebijakan lain karena "banyaknya kasus sejenis".

"Termasuk membuat kesepakatan bersama, bagaimana mengatasi masalah-masalah intorelan, masalah pendirian rumah ibadah," kata Bonar Tigor Naipospos dalam sebuah konferensi pers, akhir pekan kemarin (21/12).

Hasil indeks kerukunan umat beragama yang dirilis Kementerian Agama RI di tahun 2019 menempatkan Provinsi Sumatra Barat pada posisi terburuk kedua dalam hal toleransi beragama, setelah Provinsi Aceh.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI