Untungnya, anak-anak di kelas sudah diberitahu terlebih dulu bahwa Nur sedang belajar menjadi tenaga pendidik bagi rekan-rekan mereka yang berada di pedalaman.
"Latar belakang kami bukan guru, tapi kami harus mengajarkan tiga M (menulis, membaca, menghitung) sehingga kami harus menyesuaikan dengan sekolah formal dengan sembilan pelajaran, sampai sekarang kami harus mengikuti Kurikulum 13," jelasnya.
Nur merujuk pada kurikulum yang berlaku dalam sistem pendidikan Indonesia sejak tahun 2013. Pusat-pusat kegiatan belajar masyarakat yang mayoritas siswanya keturunan WNI juga menerapkan kurikulum itu.
Tak jarang ia bersama guru-guru lainnya harus belajar sendiri, menelepon sesama guru di sekolah lain untuk mencari tahu, dan juga belajar dari guru pendamping SIKK.
Nurjanita juga merintis pusat-pusat pembelajaran masyarakat lain di kawasan perkebunan, yaitu CLC 25 Ladang Cepat, Tempat Kegiatan Belajar (TKB) Ladang Pilajau, dan kini tengah merintis TKB satu lagi.
Pada tahun 2018 ia menyelesaikan kuliah dengan mengambil jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) dan pada tahun yang sama ia pun lulus mengikuti seleksi guru bina.
Bagi anak-anak keturunan pekerja migran, sekolah yang dijalankan oleh Nurjanita dan lima guru lainnya tersebut menawarkan harapan agar mereka tidak harus mengikut jejak orang tua menjadi buruh ladang.
Berusia 16 tahun, Siti Nor Cahyati, misalnya, berharap dapat melanjutkan sekolah menengah atas di Pulau Jawa, Indonesia, karena sekolahnya sekarang hanya sampai pada kelas sembilan.
"Mau belajar di Jawa, lebih baik. Kalau dilihat, Indonesia itu nyaman, santai," ujarnya dalam bahasa Indonesia campuran Melayu. Ia mengenal Indonesia dari para guru di sekolah.
Baca Juga: Lebih dari 70 Persen Kasus Import Covid-19 Malaysia Berasal dari Indonesia
Meskipun serumpun, bahasa menjadi kendala dalam proses belajar mengajar, sebab seperti Siti, anak-anak bertutur dalam bahasa Malaysia sehari-harinya. Di sekolah, mereka diberikan materi dalam bahasa Indonesia baku.
"Ketika anak-anak tidak mengerti dengan bahasa Indonesia, maka gurunya harus mengartikan ke bahasa Melayu," Nurjanita menjelaskan.
Dukungan pemerintah Indonesia
Sabah tercatat sebagai salah satu negara bagian Malaysia yang paling banyak ditempati anak-anak keturunan TKI. Setidaknya 27.600 anak terdaftar di pusat-pusat kegiatan belajar masyarakat seperti CLC 3 di Ladang Lumadan.
Angka itu belum termasuk mereka yang tidak mendapat akses pendidikan, diperkirakan 10.000 hingga 15.000 anak, menurut Konsul Jenderal Republik Indonesia di Kota Kinabalu, Krishna Djelani, dengan wilayah kerja Negara Bagian Sabah.
Diutarakannya, pemerintah Indonesia terus memberikan perhatian terhadap sekolah-sekolah Indonesia, setidaknya dalam tiga bentuk.