Namun selama perjalanan itu, rumah makan yang biasanya menjadi tempat pemberhentian bus pariwisata, tutup semua.
"Saya akhirnya istirahat di SPBU Losari karena rencana mau berhenti di rumah makan Kondang Roso pada malam hari, ternyata, semua rumah makan tempat pemberhentian bus wisata tutup, nggak ada yang buka," ungkapnya.
'Saya bersandal jepit karena nyaman'
Selama berjalan kaki menyusuri jalur Pantura (pantai utara pulau Jawa), Rio hanya berbekal dua tas, yakni tas gendong yang berisi pakaian dan tas selempang.
Sementara tas kresek yang digantungkan di depan berisi sepatu miliknya.
"Sepatu saya masukan kresek dan saya berjalan pakai sandal jepit ini karena lebih nyaman," kata Rio sambil menunjukkan sandal jepit berwarna kuning yang masih dipakainya.
Setiap hari dia mengaku bisa berjalan sekitar 100 kilometer dengan berjalan selama 12-14 jam.
Pengalaman yang menguras energi, ungkapnya, ketika melintasi jalur Karawang Timur sampai Tegal, lantaran pada jalur tersebut "hawanya begitu panas menyengat".
Tak pelak, kulitnya pun semakin terbakar. "Kulit saya menjadi hitam legam," Rio terkekeh.
Baca Juga: Anak Istri Kelaparan saat Corona, Jono Jual Blender Sambil Nangis
"Cuaca mulai berangsur agak adem ketika memasuki Brebes dan Pekalongan," tambahnya.
Mengapa Rio menggakhiri aksi jalan kaki di Kota Batang?
Rio mengakhiri aksi jalan kaki pada saat hari keempat setelah memasuki perbatasan Batang-Kendal di Gringsing, Jawa Tengah.
Pada saat itu uang bekalnya sudah menipis.
Dia juga merasa ketar-ketir lantaran mendengar informasi bahwa akses menuju Semarang "diperketat".
Alhasil, sebagai anggota asosiasi Pengemudi Pariwisata Indonesia (Peparindo), dia kemudian memutuskan meminta bantuan rekan-rekannya untuk bisa membawanya ke kota Semarang.