Suara.com - Publik digegerkan oleh video viral di media sosial yang berisi rekaman perempuan menangis serta berteriak saat diangkat oleh sekelompok pria. Kejadian tersebut diduga merupakan praktik kawin tangkap.
Rekaman itu diunggah oleh akun Instagram @fakta.indo pada Senin (29/6/2020).
Video berdurasi 24 detik tersebut merekam seorang perempuan diangkat dengan paksa oleh beberapa pria. Awalnya, tangan wanita itu ditarik oleh seorang pria.
Si wanita berusaha bertahan dan duduk di sebuah bangku.
Akan tetapi, usaha si wanita sia-sia saja. Itu karena sejumlah pria datang dan langsung menggotong wanita tersebut.
Beberapa pria memakai ikat kepala warna putih. Sementara laki-laki lain tampak mengenakan ikat kepala warna merah.
Wanita itu terus berteriak dan menangis saat digotong oleh para pria. Ia pun berteriak minta tolong.
Menurut informasi yang beredar, kejadian dalam video viral ini berlangsung di Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Video diduga praktik kawin tangkap ini langsung memunculkan perdebatan di publik. Sebagian warganet ada yang mengecam tradisi tersebut.
Baca Juga: Potret Mas Kawin Unik yang Bikin Melongo, Anak Motor Wajib Tahu
"Hah budaya macam apa ini!" komentar @annisa****
"Kawin tangkap = pemerkosaan?" ujar @samh*****.
Sementara yang lain justru belum tahu tentang tradisi kawin tangkap di Sumba ini.
"Harusnya dijelasin dong kawin tangkap itu gimana maksudnya, banyak yang bertanya-tanya termasuk gua," ujar @deniramdani23.

Video selengkapnya dapat disaksikan di sini.
Kawin Tangkap Ditolak
Ketua DPRD Nusa Tenggara Timur (NTT) Emilia Nomleni meminta praktik "kawin tangkap" di Pulau Sumba yang kembali terjadi beberapa pekan terakhir atas nama apapun harus segera dihentikan.
Menurut Emilia, meskipun kawin tangkap merupakan sebuah tradisi tapi praktik itu termasuk kekerasan terhadap perempuan dan anak.
"Bagi saya praktik kawin tangkap atas nama apapun harus segera dihentikan karena ini merupakan tindakan melanggar hukum dan merupakan kekerasan terhadap perempuan dan anak," kata Emilia sebagaimana dilansir Antara, di Kupang, Senin (22/6/2020).
Ia mengatakan, bahwa bisa saja praktik kawin tangkap di Sumba itu tidak hanya terjadi pada perempuan, tetapi juga pada anak. Sebab, memang tidak pernah tahu perempuan-perempuan yang diculik saat sedang berada di tempat umum atau di tempat kost itu perempuan yang masih di bawah umur.
Masyarakat di pedalaman Pulau Sumba, seperti di wilayah Kodi dan Wawewa menganggap kawin tangkap adlaah budaya turun temurun.
Tradisi ini bagi mereka tak bisa dihilangkan walaupun kawin tangkap dianggap merendahkan martabat kaum perempuan.
Emilia yang juga seorang politisi PDIP mengatakan, terjadinya kesepakatan nikah antar orang tua kedua belah pihak tanpa ada persetujuan dengan anak perempuannya saja sudah melanggar hukum apalagi ini dilakukan tanpa ada persetujuan antar orang tua dan si perempuan yang diculik.
Ia menambahkan bahwa sebenarnya masalah kawin tangkap ini sudah dibicarakan dengan seluruh anggota dewan sejak sebelum muncul pandemi COVID-19.
"Waktu itu saya sempat minta sama teman-teman di DPRD akan bersama-sama mencari jalan keluar dari praktik tersebut, namun pembahasan soal kawin tangkap di Sumba itu terganjal karena adanya pandemi COVID-19 ini," terangnya
Semua pihak, menurut Emilia, harus berperan, mulai dari pemerintah daerah, wakil rakyat, tokoh agama, tokoh masyarakat serta sesepuh di pulau Sumba agar praktik ini dihentikan.
Penolakan juga muncul dari dari anggota Komisi IX DPR RI Ratu Ngadu Bonu Wulla yang berasal dari daerah pemilihan Sumba.
"Saya sebagai seorang perempuan dan juga berasal dari Sumba tidak setuju dengan budaya ini jika dipertahankan karena memang sangat berdampak buruk pada kaum perempuan di Sumba," kata Ratu Ngadu.
Politisi Nasdem itu mengatakan bahwa apa yang dilakukan itu justru bagian dari merampas hak hidup dari kaum perempuan di daerah tersebut.