“Sayangnya, kelompok transpuan masih belum sepenuhnya mendapatkan kebebasan dan perlindungan dalam menentukan pilihan gender,” kata Mayora.
Berdasarkan laporan dari Komnas Perempuan 2020, setidaknya terdapat tiga persoalan besar yang masih dihadapi transpuan, yaitu diskriminasi, persekusi dan kekerasan.
Dikatakan lembaga ini, agama dan keyakinan telah dijadikan dasar untuk melakukan diskriminasi, yang berujung pada stereotype dan kekerasan terhadap transpuan. Padahal seluruh agama dan keyakinan mengajarkan toleransi, tanpa perintah kebencian dan kekerasan.
Selain itu, transpuan juga menjadi kelompok yang paling rentan mendapatkan persekusi, baik secara langsung mau pun online, termasuk kekerasan fisik, verbal dan simbolik.
“Fajar Sikka mencatat terjadi kasus kekerasan terhadap transpuan dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Dari hasil penelusuran tim kami pada 2018, terdapat kasus pembunuhan terhadap transpuan. Jumlahnya meningkat menjadi enam kasus terlapor di tahun 2019,” kata Mayora.
Kasus terbaru di tahun 2020 adalah pembakaran waria hidup-hidup yang terjadi di Jakarta, April tahun ini, serta video prank yang dilakukan dengan tujuan melecehkan transpuan.
“Selain itu, persoalan yang terus kami hadapi adalah persoalan administrasi dan birokrasi untuk kelengkapan dokumen kependudukan. Tak sedikit transpuan yang diusir dari rumah, kehilangan dokumen-dokumen kependudukan, tapi saat mengurus justru dipersulit birokrasi,” kata Mayora.
Kesulitan ini kemudian berimbas pada sulitnya mencari pekerjaan hingga mengakses layanan dasar seperti kesehatan maupun pendidikan yang telah disediakan pemerintah.
Di masa pandemi Covid-19, kata Mayora, kehidupan transpuan juga ikut terpukul. Umumnya, transpuan kesulitan mendapatkan pekerjaan lantaran pilihan gender yang telah dipandang sebelah mata dari lingkungan.
Baca Juga: Ancol Siapkan Pengibaran Bendera Merah Putih di Dalam Air
“Transpuan juga kesulitan mendapatkan bantuan sosial selama masa pandemi, karena persoalan administrasi kependudukan,” kata Mayora.
Mayora mengatakan konstitusi negara menjamin hak hidup dan kehidupan setiap orang, namun sampai sekarang belum ada regulasi setingkat Undang Undang hingga perda yang mampu menerjemahkan jaminan tersebut.
Malahan, kata dia, ada sejumlah Perda yang berpotensi menjerat transpuan sebagai pelaku kriminal. Ini yang membuat diskriminasi hingga kekerasan tetap langgeng.
Peringatan HUT ke-75 RI, menjadi momentum seluruh pemangku kebijakan menjamin kemerdekaan semua orang tanpa memandang perbedaan suku, agama, ras, golongan, gender maupun orientasi seksual. Pemerintah perlu memastikan hal ini dengan kebijakan.
“Dibutuhkan payung hukum yang berkeadilan untuk kelompok minoritas seperti transpuan secara khusus, maupun kelompok LGBTQ secara umum. Sebab, kelompok ini menjadi bagian dari warga negara yang berhak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan,” kata Mayora.
Selain itu, kelompok tranpuan untuk Indonesia juga berharap Presiden Joko Widodo selaku kepala negara untuk memperhatikan persoalan-persoalan yang dihadapi kelompok minoritas.