Pengorbanan Mangara mengusir penjajah dari tanah Sumatera penuh perjuangan. Ia harus mengorbankan harta hingga bertaruh nyawa.
Mangara menceritakan pernah hampir gugur saat serpihan mortir menghantam badannya saat pertempuran berkecamuk. Beruntung, nyawanya masih di kandung badan hingga saat ini.
"Jadi pecahan mortir itu yang kena. Buktinya ada ini di badan saya bagian belakang ini," katanya.
Setelah masa pertempuran usai, Indonesia mulai menata kemerdekaannya, demikian juga dengan Mangara.
Pada tahun 1954, dia hijrah dari Tapanuli Tengah untuk mengadu nasib ke Kota Medan. Mangara harus hidup berpindah-pindah lantaran tidak punya tempat tinggal.
Bahkan harus menetap di sebuah masjid selama puluhan tahun sebagai nazir Masjid Al Ikhlas yang berada di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deliserdang.
"Sesudah enggak lagi ada perang dan pasukan dileburkan, gak ada pekerjaan. Hanya disuruh tunggu-tunggu oleh negara tapi tahu-tahu gak di panggil. Jadi kami bukan habis masa tugas waktu itu, tapi dileburkan," bebernya.
Hingga akhirnya, pada tahun 1992 Mangara masuk dan terdaftar sebagai salah satu pejuang kemerdekaan dengan terdaftar menjadi anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) dan bergaji tetap sampai sekarang.
Kerap berpindah rumah kontrakan dan hidup dalam kesederhanaan, Mangara pun diminta menjadi nazir masjid di Desa Bandar Setia, Kecamatan Percut Sei Tuan sejak tahun 1992 hingga sekarang.
Baca Juga: Miris! Pejuang Mata-mata Agresi Militer Belanda Kini Jadi Pedagang Asongan
Gaji yang ia dapat dari negara, disisihkan untuk membeli sepetak tanah tepat di samping Masjid Al Ikhlas.
Tanah tersebut lunas ia bayar sekira empat tahun lalu. Di atas tanah itulah ia membangun istana kecil nan sederhana yang ditempati bersama istri dan anak-anaknya.
Pada usia senjanya, nasib Mangara mungkin belum semanis kisah gemilang yang pernah ia raih saat masih berjibaku di medan pertempuran kala mengusir para penjajah dari Nusantara.
Kontributor : Muhlis