Media Asing: Tertinggal dari Negara Lain, Indonesia Gagal Tangani Covid-19

Jum'at, 21 Agustus 2020 | 11:56 WIB
Media Asing: Tertinggal dari Negara Lain, Indonesia Gagal Tangani Covid-19
[Al Jazeera]

Statistik dari Our World in Data, sebuah proyek penelitian nirlaba yang berbasis di Universitas Oxford, menunjukkan Indonesia berada di peringkat ke-83 dari 86 negara yang disurvei untuk keseluruhan tes per kapita.

"Kekhawatiran kami belum mencapai puncak, puncaknya bisa datang sekitar Oktober dan mungkin belum selesai tahun ini," kata Iwan Ariawan, ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia.

"Saat ini, kami tidak bisa mengatakan itu terkendali." tegasnya.

Pegawai PN Sidoarjo saat rapid Test. [Dok. PN Sidoarjo]
Pegawai PN Sidoarjo saat rapid Test. [Dok. PN Sidoarjo]

Omong kosong

Pada awal pandemi, pemerintah Indonesia terkesan lambat menanggapi dan enggan mengungkapkan apa yang diketahuinya kepada publik, menurut lebih dari 20 pejabat pemerintah, manajer laboratorium uji, dan pakar kesehatan masyarakat yang berbicara kepada Reuters.

Pada 13 Maret, Presiden Joko Widodo mengatakan pemerintah menahan informasi agar tidak menimbulkan kepanikan.

Selama dua minggu pertama bulan Maret, pemerintah menyembunyikan setidaknya setengah dari infeksi harian yang disadari, dua orang yang memiliki akses ke data tersebut mengatakan kepada Reuters.

Kedua orang tersebut mengatakan bahwa mereka kemudian dilarang melihat data mentah.

Menurut Alvin Lie, anggota Ombudsman Indonesia, kebijakan Presiden Jokowi pada bulan Maret untuk perluasan besar-besaran pengujian diagnostik cepat mungkin telah merusak rezim pengujian negara.

Baca Juga: Update Covid-19 Global: Kasus Baru India Terbanyak di Dunia

Studi ilmiah menunjukkan rapid test, yang menguji sampel darah untuk antibodi, ternyata jauh kurang akurat daripada metode PCR, yang menguji sampel dari hidung atau tenggorokan untuk mengetahui materi genetik.

Dorongan Jokowi untuk menggunakan tes yang kurang andal mengalihkan sumber daya dari tes PCR, kata tiga manajer lab kepada Reuters.

Lie mengatakan kepada Reuters bahwa para importir alat rapid test, termasuk perusahaan besar milik negara dan perusahaan swasta, memperoleh keuntungan besar dengan mengenakan biaya kepada konsumen hingga satu juta rupiah, meskipun setiap tes hanya berharga Rp 50.000.

Pada pertengahan April, pemerintah provinsi mengatakan pengujian cepat di provinsi di Jawa Barat, Bali, dan Yogyakarta menghasilkan ratusan negatif palsu dan positif palsu.

Meski demikian, rapid test terus digunakan secara luas dan Pemerintah Indonesia butuh waktu hingga Juli untuk menghentikan impor rapid test cepat dan memberlakukan batasan harga sebesar Rp 150.000.

Pada bulan Juli, Indonesia juga secara resmi menyarankan pemerintah provinsi dan lainnya untuk tidak menggunakan rapid test untuk tujuan diagnostik dalam pedoman terbaru untuk pencegahan dan pengendalian Covid-19.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI