Suara.com - Undang-Undang Cipta Kerja cacat secara prosedur dan catat secara materil (substansi), demikian ditegaskan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Ahmad Syaikhu.
Secara prosedur, menurut Saikhu, UU Cipta Kerja tidak transparan, tidak sesuai dengan tata cara atau asas dalam pembentukan sebuah peraturan perundang-undangan yang baik sehingga cacat secara demokrasi.
Pembahasannya tergesa-gesa dan janggal juga menjadi catatan utama Saikhu. "Pengerjaan dikebut, sebuah RUU sudah disahkan di paripurna menjadi UU, tetapi naskah final UU belum bisa diakses publik. Pembahasan juga yidak memperhatikan dan tidak empati terhadap situasi krisis bangsa yang sedang dihadapi yakni krisis kesehatan dan krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19," kata Syaikhu dalam pernyataan tertulis.
Secara subtansi, UU Cipta Kerja dinilai Saikhu juga memiliki beragam persoalan. Fraksi PKS dikatakan banyak menerima masukan dan sikap penolakan dari seluruh lapisan masyarakat baik dari organisasi masyarakat, seperti MUI, NU, Muhammadiyah, Kongres Umat Islam ke VII, pakar serta aspirasi serikat pekerja dan konstituen.
Syaikhu menerangkan beberapa poin yang dinilai cacat substansi dalam UU Cipta Kerja sesuai dengan sikap akhir Fraksi PKS DPR yang disampaikan dalam rapat paripurna, Senin, 5 Oktober 2020.
Pertama, memuat substansi liberalisasi sumber daya alam yang dapat mengancam kedaulatan negara melaui pemberian kemudahan kepada pihak swasta dan asing melalui pembentukkan bank tanah.
Kedua, memuat substansi pengaturan yang merugikan Pekerja/buruh Indonesia melalui perubahan beberapa ketentuan yang lebih menguntungkan pengusaha. Diantarannya pesangon yang memang tidak hilang, tapi dikurangi dari 32 kali gaji menjadi 25 kali gaji.
Ketiga, memuat pengaturan yang berpotensi menimbulkan kerusakan terhadap kelestarian lingkungan hidup. Misalnya pasal 37 RUU Cipta Kerja terkait perubahan UU Kehutanan, ketentuan penyediaan luas minimum 30 persen untuk fungsi kawasan hutan dari daerah aliran sungai dihapus. Partisipasi masyarakat dalam proses analisa AMDAL dikurangi, pemerhati lingkungan tidak dilibatkan lagi;
Keempat, berpotensi membuka ruang untuk liberalisasi Pendidikan. Kewenangan pemerintah untuk mengatur semua bidang Pendidikan menjadi tidak terbatas;
Baca Juga: Denny Siregar Tawarkan Dua Jalan ke Ferdinand Hutahaean Usai Tinggalkan AHY
Kelima, pembentukan Lembaga Pengelola Investasi berpotensi bertentangan dengan konstitusi dan supremasi hukum karena substansi pengawasannya menutup ruang pengawasan dan audit keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan serta memberikan imunitas bagi pengurus dan pejabat pengambil kebijakan;