Dunia Menanti Amerika yang Baru di Bawah Joe Biden

Bangun Santoso Suara.Com
Senin, 09 November 2020 | 06:48 WIB
Dunia Menanti Amerika yang Baru di Bawah Joe Biden
Calon presiden dari Partai Demokrat Joe Biden memberi isyarat setelah berbicara pada malam pemilihan di Chase Center di Wilmington, Delaware, Amerika Serikat pada awal 4 November 2020. [ANGELA WEISS / AFP]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Sebelumnya, 8 Mei 2018, Trump mengumumkan AS mundur dari perjanjian nuklir Iran, Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), dan memilih menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Iran--suatu keputusan yang menjadi salah satu titik ketegangan AS-Iran hingga saat ini.

Dan hanya dalam waktu setahun setelah menjabat, tepatnya 1 Juni 2017, Trump mengumumkan bahwa AS akan menarik diri dari keikutsertaan pada Kesepakatan Paris--perjanjian negara-negara dunia untuk menanggulangi perubahan iklim dengan komitmen mengurangi emisi karbon yang diinisiasi pada 2015.

Berdasarkan ketentuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), AS harus menunggu hingga 4 November 2019 untuk memulai proses satu tahun sebelum akhirnya resmi keluar dari perjanjian tersebut pada 4 November 2020.

Sehari setelahnya, Biden menyatakan pemerintahannya nanti akan membawa AS kembali pada Kesepakatan Paris itu. Untuk WHO dan JCPOA, sebelumnya Biden juga telah menjanjikan hal serupa.

"Biden, sebagai penantang, akan melakukan langkah-langkah koreksi terhadap Trump yang dinilai bertolak belakang dengan karakter dasar AS. Biden juga akan mengembalikan tradisi liberalisme sebagaimana janji-janji restorasi kebijakan liberal AS yang disampaikan ketika ia berkampanye," tutur Umam.

"Saya yakin di fase tercepat, AS di tangan Biden akan mengonsolidasi barisan aliansi tradisional (pasca-Perang Dunia II) dan memperkuat kerja sama internasional, terutama terkait dengan penanganan pandemi COVID-19," kata dia.

Indonesia di Tengah AS-China

Calon presiden dari Partai Demokrat Joe Biden menyapa para pendukungnya setelah berbicara pada malam pemilihan di Chase Center di Wilmington, Delaware, pada awal 4 November 2020.  [ANGELA WEISS / AFP]
Calon presiden dari Partai Demokrat Joe Biden menyapa para pendukungnya setelah berbicara pada malam pemilihan di Chase Center di Wilmington, Delaware, pada awal 4 November 2020. [ANGELA WEISS / AFP]

Beberapa hari menjelang pemilu, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo--di bawah Presiden Trump--melakukan lawatan resmi ke beberapa negara Asia, Indonesia salah satunya. Pompeo bertemu Presiden Jokowi, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, dan juga hadir dalam forum kerukunan beragama Gerakan Pemuda Anshor.

Dalam pidato di GP Anshor, misalnya, Pompeo dengan keras menyinggung isu Muslim Uighur di Xinjiang, dan menuding China sebagai "ancaman terbesar bagi masa depan kebebasan beragama".

Baca Juga: Melania Trump "Berkicau" di Twitter Membela Suaminya setelah Kalah

China, yang meluncur pesat secara ekonomi dan pengaruh, khususnya di Asia, dinilai sebagai alasan besar AS dalam menjalin pendekatan dengan negara-negara kunci di kawasan, termasuk Indonesia.

"Kepentingan strategis di sejumlah kawasan lebih mendikte pola perilaku politik luar negeri Amerika Serikat. Ancaman yang paling signifikan di kawasan Asia Pasifik sekarang bukan Korea Utara atau Iran, tetapi China," ujar Umam.

Dalam analisisnya, Umam menyebut bahwa China bersiap menjalankan manuver di kawasan setelah dapat menebar pengaruh secara ekonomi dan politik di negara-negara Asia.

Ia mengambil contoh sengketa Laut China Selatan, di mana Indonesia--yang telah tegas menyatakan diri sebagai non-claimant atas area sengketa--tetap mendapat usikan teritorial dari China di wilayah perairan Natuna.

"Dari charming offensive strategy (serangan yang memesona), China beralih pada alarming offensive strategy (serangan yang mengganggu). Ini yang harus Indonesia pahami. Dan salah satu hal yang paling utama untuk menghadapi manuver Beijing dalam konteks ini adalah Amerika Serikat," kata Umam.

"Di bawah Biden, kita berharap AS dapat kembali hadir untuk memperkuat basis-basis pengaruhnya di sejumlah kawasan, termasuk di Asia Tenggara," kata dia menambahkan, merujuk pada kekuatan setara yang dimiliki AS untuk mengimbangi pengaruh China.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI