Sofyan berpendapat, secara materil Pasal 14 ayat 1 tidak disebutkan secara rinci tentang bentuk penyiaran yang berpotensi menimbulkan keonaran.
Menurut dia, kegiatan menyiarkan berita bohong tidak selamanya menimbulkan keonaran.
"Menyiarkan kabar bohong tidak di pidana jika tidak timbul keonaran. Tidak ada norma yang melarang orang bohong. Yang dilarang adalah kabar bohong itu menimbulkan keonran. Tidak selamanya menyiarkan berita bohong menimbulkan keonaran," kata Sofyan di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Sofyan berpendapat, keonaran dalam konteks ini harus dijelaskan dan diintepretasikan secara spesifik.
Sebab, dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana kata keonaran tidak dijelaskan sebagaimana guncangan pancaroba pada saat penyusunan Undang-Undang.
"Harus di jelaskan, diinterpretasikan keonaran. Tafsir historis pada masa itu timbul keguncangam pancaroba transisional sehingga dibuat UUD itu. Keonaran dalam konteks ini memang tidak disebutkan dalam UU tahun 1946," jelas Sofyan.
Dalam perkara ini, Jumhur sempat mengutip artikel soal pemberitaan tentang Omnibus Law - Undang-Undang Cipta Kerja. Merespons hal tersebut, Sofyan menilai jika menyiarkan kabar bohong berbeda konteks dengan membuat berita bohong.
"Menyiarkan kabar bohong kepada publik, kalau sudah tersiar lalu yang di persoalkan penyiar pertama," ungkap dia.
Sofyan menilai, dalam perkara ini Jumhur tidak melakukan tindak pidana menyebarkan berita bohong.
Baca Juga: Jadi Saksi Sidang Jumhur, Direktur Walhi: UU Cipta Kerja Dirancang Tertutup
Sekali ada kesalahan, lanjut dia, harus ada mekanisme lain yang harus ditempuh mislanya mengadu ke Dewan Pers terkait pemberitaan yang diduga hoaks tersebut.