"Harus di jelaskan, diinterpretasikan keonaran. Tafsir historis pada masa itu timbul keguncangam pancaroba transisional sehingga dibuat UUD itu. Keonaran dalam konteks ini memang tidak disebutkan dalam UU tahun 1946," jelas Sofyan.
Dalam perkara ini, Jumhur sempat mengutip artikel soal pemberitaan tentang Omnibus Law - Undang-Undang Cipta Kerja. Merespons hal tersebut, Sofyan menilai jika menyiarkan kabar bohong berbeda konteks dengan membuat berita bohong.
"Menyiarkan kabar bohong kepada publik, kalau sudah tersiar lalu yang di persoalkan penyiar pertama," ungkap dia.
Sofyan menilai, dalam perkara ini Jumhur tidak melakukan tindak pidana menyebarkan berita bohong.
Sekali ada kesalahan, lanjut dia, harus ada mekanisme lain yang harus ditempuh mislanya mengadu ke Dewan Pers terkait pemberitaan yang diduga hoaks tersebut.
"Yang bertanggungjawab adalah medianya. Bukan berarti otomatis dipidana. Ada mekanisme hukum dalam rangka melindungi publik, pemberitaan, narasumber, kalau pun itu dianggap menimbulkan keonaran, gugat secara perdata media itu," pungkas Sofyan.