“Seminggu, kalau tidak kena batuk, tidak kena demam atau sakit perut barulah balek,” kata Tarib, saat ditemui awal Mei 2021. “Kalau bawa makanan harus direndam dulu di aek (air) biar kalau ada penyakit hilang, atau diembunkon (diembunkan).”
Orang Rimba sangat hati-hati dan tak mau menemui sembarang orang asing. Saat saya mengunjungi Bukit Suban, Tumenggung Grip sempat ragu, dia meminta saya menunjukkan surat keterangan bebas corona baru diizinkan masuk ke pemukiman di dalam hutan. Dia khawatir saya membawa wabah penyakit yang bisa membahayakan kelompoknya.
Selain besesandingon Orang Rimba juga melakukan adat Rabunan untuk menangkal penyakit. Mereka akan membakar tujuh jenis kayu berduri mengelilingi rumah. Sebagian duri rotan disisipkan di sudut rumah, yang dipercaya bisa menangkal gelabah.
Dalam satu waktu, para hakim (dukun obat) Orang Rimba juga melakukan balas. Para dukun akan memanjatkan doa-doa pada dewa agar dilindungi dari wabah penyakit. “Kalau kabul gelabah itu tidak jadi masuk. Kalau sekarang ini hutan tidak ada, jadi sulit terkabul,” kata Prabung. Itu disebabkan banyak Orang Rimba telah makan hewan ternak masyarakat luar yang jadi pantangan.
“Kalau sekarang semua dimakan, karena (hidup) semua susah. Makan micinlah, bawang, mie. Kalau dulu manalah mau makan, karena itu bisa merusak permintaan doa kita tidak kabul nanti. Kalau dulu makan cuma yang ada di bumi,” jelasnya.
Orang Rimba juga percaya telegu atau singgung (Mydaus javanensis) bisa menangkal penyakit lewat bau kentutnya yang busuk. Singgung juga digunakan untuk obat campak.
Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Orang Rimba
Hampir setahun Nelitis, Orang Rimba dari rombong Tumenggung Grip, pontang-panting agar lima anaknya bisa tetap makan dan hidup. Pandemi Covid-19 telah memukul ekonomi banyak keluarga Orang Rimba. Selama pandemi mereka tak bisa lagi bekerja dengan orang kampung untuk dapatkan upah karena harus besesandingon, tetapi sesekali Nelitis nekat, sebab pencarian di hutan semakin sulit.
“Kalau mencari di dalam (hutan) itu kadang dapat kadang tidak,” kata Nelitis saat saya temui di dalam hutan Bukit Duabelas, awal Mei.
Baca Juga: Menempuh Jalan Pikukuh, Cara Warga Adat Baduy Bebas dari Covid-19
Harga jual jernang, damar, rotan di tengkulak juga amburadul tak bisa lagi diandalkan. Hidup mereka yang hidup di hutan semakin terpuruk. “Jernang tidak lagi berharga, manau (rotan) tidak berharga lagi, karet tambah amut (hancur),” katanya.