Hidup Orang Rimba Kala Covid-19: Terhindar dari Wabah Tapi Kelaparan dalam Hutan

Reza Gunadha Suara.Com
Jum'at, 28 Mei 2021 | 21:26 WIB
Hidup Orang Rimba Kala Covid-19: Terhindar dari Wabah Tapi Kelaparan dalam Hutan
Orang Rimba atau Suku Anak Dalam melakukan social distancing (Dok. Willy Marlupi)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Saat saya datang ke sana, sudah ada juga Orang Rimba yang membuka hutan untuk tanam sawit dan ubi. Sementara banyak juga kebun karet yang sudah tidak diurus karena kurang menghasilkan.

Sementara itu bantuan beras dari pemerintah justru lebih rumit untuk didapatkan. Rombong Tumenggung Aprizal di Singosari misalnya, sudah empat bulan ini tidak menerima bantuan sosial pangan (BSP). Penyebabnya adalah data KTP yang sering tidak sinkron antara Dinas Sosial dan Dukcapil. 

Aprizal mengaku telah menyerahkan fotocopy KTP dan Kartu Keluarga pada pemerintah desa dan dinas sosial. “Dari bulan 1-5 ini belum dapat (bantuan), tertunda-tunda terus. Alasan pada data, katanya ada yang salah.”

Pusat Data Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial menemukan 972 data keluarga penerima manfaat untuk bantuan sosial pangan (BSP) suku anak dalam tahun 2021 terekam ganda. Sebanyak 551 diantaranya di Sarolangun, 176 di Merangin, 166 di Tebo, 52 di Tanjung Jabung Barat, 19 di Batang Hari dan 8 di Kabupaten Bungo. 

“Makanya kita tidak berani mengeluarkan bantuan,” kata Usup Suryana, Kepala Seksi Pemberdayaan Sosial Komunitas Adat Terpencil, Dinas Sosial Provinsi Jambi.

Alih-alih segera menyelesaikan masalah itu, Usup terkesan menyalahkan Orang Rimba yang hidup nomaden. “Jadi pindah di sana didata, pindah sini didata, jadi double,” katanya.

Makin Banyak Penyakit

Wabah Covid-19 membuat ingatan Tarib kembali pada kejadian tahun 1972, di mana gelabah—wabah—merenggut nyawa puluhan Orang Rimba rombong Tumenggung Kecik di wilayah Selanten, kabupaten Tebo. Sebanyak 32 orang mati dalam sehari akibat memacak-macako pinggan, wabah penyakit yang ditandai dengan piring pecah.

“Tup-tup piring itu bersantuk (beradu) orang itu mati, tinggal 6 orang dari 38 orang satu kelompok itu. Sekali kena itu habis, kalau pinggan (piring) itu pecah manusianya mati, itu. Itu rajanya penyakit tertinggi yang pernah terjadi,” kata Tarib.

Baca Juga: Menempuh Jalan Pikukuh, Cara Warga Adat Baduy Bebas dari Covid-19

Wabah itu masih misterius, belum ada penjelasan lebih lanjut dari berbagai pihak. Rombong Orang Rimba lain, antropolog dan juga Warsi, sebuah lembaga yang turut mendampingi masyarakat adat di Jambi, juga tidak mengetahui soal wabah itu.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI