Kisah Manusia Silver: Kesaksian Remaja-remaja yang Terbiasa Hidup dengan Bahaya

Siswanto Suara.Com
Senin, 02 Agustus 2021 | 07:00 WIB
Kisah Manusia Silver: Kesaksian Remaja-remaja yang Terbiasa Hidup dengan Bahaya
Ilustrasi: manusia silver [Dok.Antara]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Tompel juga ikut mempertanyakan asumsi bahwa manusia silver menjadi pengganggu ketertiban umum.

Sama seperti dua rekannya, dia menolak pendapat yang menyebutkan manusia silver mengganggu ketertiban. Selama ini, dia dan kawan-kawannya tidak pernah sekalipun bersikap tidak sopan dengan orang lain, apalagi memaksa mereka memberikan uang.

“Kalau dibilang mengganggu, apanya yang mengganggu. Kita jugakan minggir di jalan raya, terus kalau ada anak kecil takut, kita juga langsung pergi nggak jadi ke tempat dia. Nggak jadi matung. Kita juga mintain (uang) dengan sopan. Mungkin yang dibilang mengganggu itu yang di lampu merah,” kata Tompel.

Tompel merasa tidak perlu menanggapi berbagai pendapat negatif atas keberadaan manusia silver di jalanan. Prinsip dia yang terpenting tidak memaksa dan merugikan orang lain saat bekerja.

“Kita mah, yang namanya omong-omongan orang mah udah makanan kita sehari-hari sih. Udah nggak kaget dah. Biarin saja dah dia mau ngomong apa. Intinya mah diri kita sendiri, kita yang tahu sendiri. Orang-orang mah tahunya buruknya doang,” kata Tompel.

Tak percaya Covid-19

Mereka lebih takut razia Satpol PP ketimbang tertular Covid-19. Idoy malah tidak percaya adanya virus mematikan yang telah merenggut nyawa ribuan orang di Indonesia.

Dia sangat percaya diri ketika mengatakan hal itu. Tapi sayanya yang jadi makin was-was, apalagi dia dan kawan-kawannya yang berkumpul di depan saya tidak ada yang pakai masker.

Menurut dia kalau Covid-19 memang ada, sudah pasti dia ketularan sejak tahun 2020. Dia merujuk pada aktivitasnya saban hari di jalanan dan ketemu orang-orang baru, tanpa pernah memakai masker pula dia.

Baca Juga: Kisah Anak Transmigran Merantau ke Jakarta: Apa yang Terjadi di Kampungnya?

“Kalau itu (Covid-19) sih kita alhamdulillah belum pernah kena. Dari pertama ada Corona, yang namanya masker yang kalau orang-orang bilang wajib pakai yak (kita nggak pernah pakai). Kita nggak percayalah yang namanya Corona-corona begitu. Soalnya kita yang ngrasain namanya di jalan itu sudah sering banget dari pertama Corona sampai sekarang nggak pernah namanya pakai masker.”

“Anehnya justru orang-orang yang di rumah saja, kagak ngapa-ngapain malah kena ya kan. Kita yang di jalan kayak kayak gini tiap hari, nggak pernah kena. Udah terbiasa, udah bodo amat gitu.”

Bagi Tompel, memakai masker rasanya tidak nyaman dan itu sebabnya dia tidak mau pakai. Dia memegang prinsip, hidup dan matinya seseorang sudah menjadi urusan Allah.

“Kalau pakai masker juga bawaannya risih bang. Buat orang takut pasti kena, buat orang yang percaya diri gimana yak, udah kita pede aja dah. Mati hidup kan Allah yang takdirin bukan kita, kalau emang takdir mati ya udah, mau gimana lagi,” kata Tompel.

Persaingan dan konflik

Mencari uang di sektor nonformal, seperti yang dijalani Idoy, Dudun, dan Tompel penuh dengan dinamika.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI