Kisah Manusia Silver: Kesaksian Remaja-remaja yang Terbiasa Hidup dengan Bahaya

Siswanto Suara.Com
Senin, 02 Agustus 2021 | 07:00 WIB
Kisah Manusia Silver: Kesaksian Remaja-remaja yang Terbiasa Hidup dengan Bahaya
Ilustrasi: manusia silver [Dok.Antara]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Idoy mengakui sekarang ini sudah terjadi pergeseran makna seni Ondel-ondel. Dulu, pertunjukan tersebut lekat dengan pesta rakyat dan didukung peralatan musik yang memadai karena kesenian ini merupakan warisan budaya, bukan sekedar alat perekam suara yang didorong-dorong pakai gerobak seperti sekarang.

Idoy menjadi saksi mata terjadi pergeseran makna seni Ondel-ondel karena merasakan sendiri pengalaman di jalanan setelah dia tak lagi gabung di dalam sanggar seni.

Dia keluar dari sanggar karena kala itu tergiur penghasilan menjadi pengamen Ondel-ondel yang konon jauh lebih besar.

Dan memang benar kata teman-temannya. Pendapatan dari mengamen dengan memakai ikon Kota Jakarta itu jauh lebih banyak. Tiga tahun lamanya dia menggeluti dunia mengamen keliling kampung-kampung.

Awal jadi manusia silver

Menjadi pengamen dengan membawa boneka raksasa membawa mereka ke pergaulan yang lebih luas. Banyak komunitas pengamen Ondel-ondel di Jabodetabek yang jadi kawan baik mereka.

Dengan adanya perubahan sosial seiring berjalannya waktu, dunia pengamen Ondel-ondel pelan-pelan ikut berubah. Rivalitas sesama komunitas semakin ketat. Pendapatan berkurang. Lantas, tak sedikit dari mereka yang kemudian beranjak menjadi manusia silver yang kala itu belum begitu populer.

Dari kawan-kawan yang sudah lebih dulu mencemplungkan diri menjadi manusia silver itulah, Idoy, Dudun, dan Tompel mendengar bahwa penghasilan mereka lebih bagus dari membawa Ondel-ondel keliling kampung.

“Emang berapa penghasilannya, kita tanyain (kawan) gitu. Kalau cepek (Rp100 ribu) mah dapat (satu hari), katanya gitu,” kata Idoy.

Baca Juga: Kisah Anak Transmigran Merantau ke Jakarta: Apa yang Terjadi di Kampungnya?

“Ya lumayan juga kalau diitung-itung, matiinlah gocaplah (Rp50 ribu) sehari, gocap, gocap, gocap. Makanya tuh kita jadi manusia silver begini.”

Singkat cerita, ketiga remaja asal Kota Bekasi pun menerjuni dunia manusia silver. Tak lama kemudian, dunia pengamen jenis ini menjadi populer, tak hanya di Jabodetabek, tetapi juga menyebar ke daerah-daerah.

Selain penghasilan lebih baik, membuat pertunjukan di tempat umum dengan menjadi manusia silver juga mereka rasakan lebih praktis.

Berbeda dengan mengamen dengan boneka Ondel-ondel yang biasanya butuh tenaga 12 orang, tapi bisa kurang dari itu. Bagi yang tidak punya peralatan musik dan Ondel-ondel, mereka mesti menyewa. Sehari penghasilan mereka rata-rata hanya Rp50 ribu. Kalau jumlah tersebut dibagikan ke 12 anggota, berarti tiap-tiap orang hanya memperoleh bagian yang kecil sekali jumlahnya.

Roni (35) perantau asal Cirebon, Jawa Barat memilih bekerja menjadi pengamen manusia silver di Jalan KH. Noer Ali, Bekasi Barat.
Ilustrasi: manusia silver

“Penghasilan Rp50 ribu itu (sekarang) juga belum nentu. Tapi kalau dulu udah pasti nentu Rp50 ribu, kalau sekarang susah, harus dari pagi-pagi banget berangkat,” kata Idoy.

Idoy dengan suka hati menceritakan penghasilannya semenjak menjadi manusia silver. Tiap hari, rata-rata dia mendapatkan uang Rp100 ribu -- belum dipotong biaya makan dan rokok. Penghasilan paling kecil yang pernah dia peroleh Rp50 ribu dan paling gede Rp150 ribu.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI