"Seandainya bukan Dinar Candy yang di situ, atau mungkin seandainya dia adalah seorang laki-laki, saya kira mungkin orang hanya akan melihat isi protesnya soal PPKM," kata Mariana kepada wartawan Nurika Manan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Jumat (6/8).
Yang terjadi kemudian alih-alih fokus pada esensi protes, menurut Mariana yang dipermasalahkan justru ketelanjangan Dinar sebagai perempuan. "Persoalannya karena dia menunjukkan tubuhnya, pendapatnya malah tidak diperhatikan, lebih ke penampilannya," kata dia.
"Sementara ibu-ibu di Bali, atau mama-mama Papua yang bertelanjang dada dan protes kan tidak masalah. Atau berdiri saja begitu di tengah kebun, bertelanjang dada, kan tidak masalah. Jadinya kan bias," imbuh dia.
Seharusnya masalah pokok yang membuat seorang perempuan melakukan aksi protes tersebut lah yang mestinya jadi fokus.
Dalam kondisi tertekan, menurut Mariana, beberapa perempuan acap kali mengekspresikan keresahan maupun perlawanannya dengan pelbagai cara. Boleh jadi, kata dia, itu pula yang terjadi dalam kasus Dinar Candy.
Aksi protes tersebut ditempuh karena hanya itu cara yang Dinar tahu agar pendapatnya didengar.
"Kalau kita belajar psikologi perempuan, dalam kondisi histeris atau histeria, itu banyak sekali contoh yang kemudian, misalnya ibu-ibu terutama yang membuka baju. Stres," ucap dia.
"Saya melihat dari awal Dinar itu stres juga, kalau kita cek wawancara dia soal PSBB dan setelahnya PPKM, karena dia kehilangan mata pencaharian kan. Dan karena dia tahunya cuma itu, maka dia melakukan itu," kata Mariana lagi.
Kalaupun berkeras dipermasalahkan, terlalu berlebihan jika direspons dengan pendekatan pidana.
Baca Juga: Jadi Tersangka Pornografi, Dinar Candy Stres dan Sesak Napas
Apalagi mengingat rekam jejak penggunaan UU Pornografi, menurut Mariana, kerap mendiskriminasi perempuan dan seringkali tak tepat diterapkan.
Ia mengatakan, "memang dari awal UU Pornografi akan cenderung menghukum perempuan, terutama tubuhnya."
Padahal dalam beberapa kasus, seringkali justru perempuan yang dijerat Undang-undang Pornografi ini adalah korban. Misalnya, dia mencontohkan, pada kasus perdagangan perempuan.
"Ada penari striptis yang disewa banyak orang, waktu itu di Jepara kasusnya. Ternyata mereka juga korban perdagangan orang dan segala macam, tapi mereka dikenakan sebagai pekerja seks," urai Mariana.
"Harusnya hukum mengerti bahwa posisi perempuan itu subordinat, ada di bawah sistem yang patriarkis. Yaitu apabila dia menunjukkan ketelanjangannya apapun alasannya pasti orang akan menghakimi dia, tanpa orang mau tahu kenapa," ungkapnya.
Aksi telanjang dada di daerah
Aksi bertelanjang dada sebetulnya juga pernah dilakukan kelompok perempuan lain di berbagai daerah sebagai bentuk perlawanan.