Sejak awal pandemi Covid-19 melanda Tanah Air, Anti-Tank Project telah menempel poster berukuran besar di sejumlah titik di Yogyakarta yang berisi isu tentang ruang hidup. Andrew menyebut, setidaknya ada 10 poster dengan ukuran besar yang tidak bertahan lama. Kata dia, semua poster dengan ukuran besar tersebut raib dengan kondisi bagian teks yang ditutupi, disabotase -- bahkan ditutup secara keseluruhan.Bahkan, ratusan poster yang berisi tentang penolakan Omnibus Law - UU Cipta Kerja yang tertempel di se-antero Kota Pelajar juga raib.
"Padahal kita memasang hampir 500 poster di se-antero Yogyakarta. Ada 10an poster dengan beragam gambar. Yang semuanya memuat isu ruang hidup yang mencakup isu tambang dan penggusuran," papar Andrew.
Bagi Andrew, negara justru tidak takut dengan karya mural, poster, hingga stensil yang kerap membawa isu besar. Justru, negara khwatir akan muncul kesadaran organik dari masyarakat yang bisa tumbuh secara simultan di tataran akar rumput. Kesadaran organik yang dimaksud Andrew adalah, kesadaran pada absen dan brengseknya negara.
"Otoritas tentu tidak takut dengan gambar, yang mereka khawatirkan adalah munculnya kesadaran organik yang tumbuh secara simultan di akar rumput," jelas dia.
Ruang Publik dan Baliho Politisi
Bagi Andrew, ruang publik adalah sepenuhnya milik publik karena seluruh pembiayaannya dibayar oleh rakyat. Artinya, ruang publik seperti dinding dan jalanan seharusnya bisa diakses, dimanfaatkan, dan dinikmati oleh publik sedemokratis mungkin.
Pada kenyataannya, ruang publik dewasa ini hanya bisa diakses oleh sejumlah pihak. Fenomena yang paling mencuat dalam beberapa waktu ke belakang adalah baliho para politisi yang seakan membikin sesak dan tidak enak dipandang. Misalnya saja wajah Ketua DPR RI sekaligus kader PDI Perjuangan, Puan Maharani. Dengan slogan 'Kepak Sayap Kebhinekaan', wajah dan senyum Puan bisa kita jumpai kapan saja di sejumlah kota.
Selain baliho Puan, ruang publik juga bertambah sesak dengan baliho Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Menko Perekonomian dan Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Penanganan Ekonomi Nasional (KPCPEN). Rasanya, baliho Puan dan Airlangga membikin aroma berbau Pilpres 2024 semakin menyengat di tengah penderitaan rakyat yang semakin babak belur akibat pandemi Covid-19. Menurut Andrew, sistem pengelolaan penggunaan ruang publik selama ini harus berbayar. Artinya, ada sistem monopoli ruang publik sebagai hasil dari pengelolaan yang sangat kapitalistik.
"Seolah yang boleh menggunakan ruang publik adalah orang-orang yang mampu menyewa baliho raksasa," beber dia.
Baca Juga: Jokowi 404: Not Found, Bila Rakyat Berani Mengeluh Itu Artinya Sudah Gawat!
Terhadap baliho milik Puan misalnya, di Blitar, Jawa Timur, gambar putri dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri itu dicoret orang dengan tulisan 'Open BO'.
Sementara di Surabaya, balihonya dicoret kalimat seperti 'Koruptor' hingga 'PKI'. Andrew berpendapat, aksi mencoret baliho para politisi itu sangat melegakan. Dengan kata lain, fungsi grafiti dan insting vandal si pencoret baliho Puan bisa menjadi semacam 'alat' yang membahayakan.
"Setelah selama ini kita dimajakan dengan estetika graffiti yang kelewat indah. (Aksi pencoretan baliho) Membikin graffiti menemukan momentumnya kembali," jelas Andrew.
Repesifitas dan Penghancuran Karya
Viralnya mural mirip wajah Jokowi dengan bertuliskan '404:Not Found' di media sosial, menjadi perhatian publik hingga aparat penegak hukum. Mural yang berada di tembok bawah Jembatan Layang Jalan Pembangunan I, Batu Ceper, Kota Tangerang, Banten itu saat ini telah dihapus.
Kepala Sub Bagian Humas Polres Tangerang Kota, Kompol Abdul Rachim pada Sabtu (14/8/2021) lalu mengatakan, pihaknya kini tengah mendalami dengan melakukan penyelidikan viralnya mural mirip wajah Jokowi itu. Abdul juga menambahkan pihaknya juga tengah meminta keterangan sejumlah saksi, terkait pembuat mural ‘Jokowi 404:Not Found’ tersebut.