Menakar Nasib Afghanistan Usai Kembali Jatuh ke Tangan Taliban

Bangun Santoso Suara.Com
Rabu, 18 Agustus 2021 | 12:29 WIB
Menakar Nasib Afghanistan Usai Kembali Jatuh ke Tangan Taliban
Jalanan di Kota Kabul penuh dengan kendaraan dan manusia saat Taliban memastikan mengambil alih ibu kota Afghanistan itu pada Minggu (15/8/2021). (Foto: AFP)

Cermat Berhitung

Taliban
Taliban

Realitas internal dan eksternal ini memaksa Taliban cermat berhitung. Apalagi semua negara ini tak mau kekacauan yang bisa terjadi di Afghanistan membuat repot mereka, termasuk masalah banjir pengungsi.

Negara-negara itu, seperti halnya Barat, PBB dan banyak negara lainnya di dunia ini, juga tak ingin Afghanistan kembali menjadi tempat bernaung kelompok-kelompok teror seperti Alqaeda dan apalagi ISIS.

China bahkan tak mau Afghanistan dimanfaatkan gerakan separatisme di Xinjiang. Kekhawatiran sama dipendam India yang walau tak berbatasan langsung namun secara geografis dekat dengan Afghanistan. India tak mau kelompok-kelompok ekstremis yang berbasis di Pakistan seperti Lashkar-e-Tayyiba memindahkan basis atau mendekat ke Afghanistan.

Hal lain yang memaksa Taliban pragmatis adalah dalam kerangka membangun ekonomi Afghanistan yang menurut Bank Dunia pada 2018 menghabiskan anggaran 11 miliar dolar AS (Rp158 triliun) yang 80 persen di antaranya berasal dari bantuan luar negeri.

Sementara menurut laporan PBB pada Juni 2021, Taliban membiayai dirinya dari produksi opium, perdagangan narkotika, dan penculikan bertebusan yang total memberikan 300 juta dolar AS sampai 1,6 miliar dolar AS (Rp 4,3 triliun–Rp 23 triliun) per tahun kepada Taliban.

Menepis soal itu, Zabihullah Mujahid memastikan Afghanistan akan bebas dari narkotika. Tapi dia meminta komunitas internasional membantu petani Afghanistan agar tak lagi tergantung kepada menanam opium.

Dari sini terlihat, menghadapi realitas internal dan eksternal yang dulu tak begitu dipedulikan, Taliban berusaha menempuh kompromi demi rekonstruksi Afghanistan.

Apalagi AS seperti dilaporkan AFP, bersumpah tak akan membiarkan Taliban mengakses rekening-rekening AS yang dipakai untuk menyimpan cadangan devisa bank sentral Afghanistan. IMF menaksir cadangan devisa ini mencapai 9,4 miliar dolar AS (Rp 135 triliun).

Baca Juga: Janji Hormati Hak-hak Perempuan, Benarkah Taliban Bakal Berubah?

Ini membuat Taliban dipaksa mencari alternatif. China menjadi kemungkinan terbesar yang paling ingin digandeng Taliban, kendati Arab Saudi dan Qatar tak bisa dikesampingkan.

China sendiri kemungkinan mengulurkan tangannya demi pemerintah yang stabil di Afghanistan karena stabilitas di Afghanistan bakal mengamankan asset-asset ekonomi dan Prakarsa Sabuk dan Jalan di Asia Tengah dan Pakistan.

China, Iran dan Rusia adalah pihak yang paling senang AS hengkang dari Afghanistan yang tepat berada di depan hidung mereka. Tetapi mereka, dan semua negara yang berkepentingan dengan Afghanistan, akan terus melihat apa yang akan dilakukan Taliban.

Jika benar berwajah rekonsiliatif, toleran dan inklusif, maka sikap negara-negara itu bakal benar-benar positif untuk kemudian membantu Taliban menggerakkan Afghanistan ke arah lebih baik.

Tapi jika pesan rekonsiliasi itu retorika belaka, maka negara-negara itu bakal mundur, bahkan mungkin bersiap menghadapi kemungkinan terburuk di mana Rusia saja sudah ancang-ancang dengan menggelar latihan bersama Tajikistan.

Bukan hanya itu, konflik internal bisa terus terjadi di Afghanistan, apalagi bibit konflik tetap besar, bahkan wakil presiden Afghanistan Amrullah Saleh bersumpah akan melawan Taliban dari Lembah Panjshir yang tak bisa dijamah siapa pun, termasuk Uni Soviet dan Taliban pada 1990-an.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI