Kisah Yahudi Terakhir di Afghanistan, Tetap Bertahan Meski Dunia Ingin Menyelamatkannya

Minggu, 22 Agustus 2021 | 18:15 WIB
Kisah Yahudi Terakhir di Afghanistan, Tetap Bertahan Meski Dunia Ingin Menyelamatkannya
Ilustrasi pria Yahudi (Unsplash)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Seorang pria yang dilaporkan sebagai Yahudi terakhir di Afghanistan menolak untuk dievakuasi meskipun perhatian dunia begitu luar biasa untuknya.

Menyadur New York Post Minggu (22/08), pria 62 tahun bernama Zebulon Simantov ini telah tinggal di negara konflik itu seumur hidupnya.

Ia tinggal di sebuah rumah dengan satu ruangan di kota Kabul yang juga berfungsi sebagai sinagoge terakhir di negara itu. Simantov diketahui berasal dari Herat dan sebelumnya membuka restoran juga berjualan karpet.

Ia kemudian bertemu dengan pengusaha Amerika-Israel bernama Moti Kahana yang memiliki misi menyelamatkan orang-orang Yahudi. Ia pernah mengevakuasi orang Yahudi yang tersisa dari Suriah saat perang tahun 2014.

“Saya berurusan dengan begitu banyak orang gila dan dia ada di daftar teratas,” Kahana, 53, mengatakan pada The Post.

Ilustrasi sinagoga di Eropa (Shutterstock).
Ilustrasi sinagoge di Eropa.(Shutterstock).

“Pada hari Selasa tim saya pergi ke rumahnya dan dia sedang berkemas,” kata Kahana, menambahkan Simantov tiba-tiba meminta USD 50.000 sebagai syarat keberangkatan dan menggagalkan rencana tersebut.

Mendy Chitrik, ketua Aliansi Rabi di Negara-negara Islam mengatakan Simantov awalnya menunjukkan geagat ingin keluar tapi dia memutuskan untuk bertahan. "Dan jika seseorang ingin tinggal, itu terserah dia,” ujarnya.

“Dia tidak mengatakan mengapa, tapi dia cukup nyaman di sana,” kata Chitrik, menambahkan bahwa organisasinya telah berhubungan dengan Simantov selama bertahun-tahun dan membantu memasoknya dengan Matzo dan lainnya.

Simantov, yang hidup melalui era Taliban pertama, telah menunjukkan keinginannya untuk beremigrasi ke Israel pada bulan Juni, mengatakan kepada Voice of America bahwa dia tak memiliki nyali untuk hidup lagi di bawah para mullah.

Baca Juga: Pengamat: Indonesia Harus Bersiap Sediakan Pulau Terluar Tampung Pengungsi Afghanistan

"Atas izin Tuhan, saya pasti akan pergi pada saat Taliban datang," katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI