Peran Bangunan Gedung Hijau dalam Pembangunan Infrastruktur di Indonesia

Sabtu, 09 Oktober 2021 | 11:53 WIB
Peran Bangunan Gedung Hijau dalam Pembangunan Infrastruktur di Indonesia
Bangunan gedung hijau. (Dok: PUPR)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Bangunan gedung telah dianggap mempunyai kontribusi yang cukup besar terhadap menipisnya sumber daya alam, energi, pemanasan global dan perubahan iklim. Berdasarkan data yang ada, bangunan gedung telah berkontribusi terhadap 40% emisi gas rumah kaca yang dianggap sebagai penyebab pemanasan global, bangunan telah menggunakan 12 % dari kapasitas air di dunia, bangunan gedung menyumbangkan 40% produksi sampah secara global.

Selain itu, pembangunan bangunan gedung juga dipengaruhi oleh peningkatan yang signifikan populasi dunia yang tinggal di daerah perkotaan. Pada tahun 1900, tercatat hanya 10% populasi penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Namun pada tahun 2008, populasi penduduk yang tinggal di daerah perkotaan sudah meningkat menjadi 50% dan diproyeksikan bahwa populasi penduduk dunia di daerah perkotaan akan naik menjadi 70% pada tahun 2050.

Hal tersebut menyebabkan peningkatan konsentrasi CO2, dimana tercatat pada tahun 1960 konsentrasi CO2 hanya sekitar 315 ppmv dan pada tahun 2010 telah mencapai 385 ppmv.

Perubahan iklim, dalam hal ini adalah pemanasan global, juga sudah mulai terjadi dengan mencairnya gletser pada McCarthy Glacier, terjadinya kenaikan permukaan air laut, semakin menipisnya cadangan air bersih, dan semakin menipisnya cadangan bahan bakar.

Sehubungan dengan dampak besar terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh bangunan Gedung, maka kita harus mulai merubah konsep pembangunan bangunan gedung ke arah pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).

Konsep tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk Bangunan Gedung Hijau (BGH). Konsep BGH ini dianggap lebih baik dalam hal penggunaan sumber daya dibandingkan dengan bangunan gedung “konvensional”, dimana konsep BGH lebih mengedepankan pada efisiensi energi, air dan material.

Bangunan gedung telah dianggap mempunyai kontribusi yang cukup besar terhadap menipisnya sumber daya alam, energi, pemanasan global dan perubahan iklim. Berdasarkan data yang ada Bangunan gedung telah berkontribusi terhadap 40% emisi gas rumah kaca yang dianggap sebagai penyebab pemanasan global, bangunan telah menggunakan 12 % dari kapasitas air di dunia, bangunan Gedung menyumbangkan 40% produksi sampah secara global.

Selain itu, pembangunan bangunan gedung juga dipengaruhi oleh peningkatan yang signifikan populasi dunia yang tinggal di daerah perkotaan. Pada tahun 1900 tercatat hanya 10% populasi penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Namun pada tahun 2008, populasi penduduk yang tinggal di daerah perkotaan sudah meningkat menjadi 50% dan diproyeksikan bahwa populasi penduduk dunia di daerah perkotaan akan naik menjadi 70% pada tahun 2050. Hal tersebut menyebabkan peningkatan konsentrasi CO2, dimana tercatat pada tahun 1960 konsentrasi CO2 hanya sekitar 315 ppmv dan pada tahun 2010 telah mencapai 385 ppmv.

Dokumentasi McCarthy Glacier pada Tahun 1909 dan Tahun 2004. (Dok: PUPR)
Dokumentasi McCarthy Glacier pada Tahun 1909 dan Tahun 2004. (Dok: PUPR)

Perubahan iklim, dalam hal ini adalah pemanasan global, juga sudah mulai terjadi dengan mencairnya gletser pada McCarthy Glacier (gambar 1), terjadinya kenaikan permukaan air laut, semakin menipisnya cadangan air bersih, dan semakin menipisnya cadangan bahan bakar.

Baca Juga: Total Hadiah Rp50 Juta, Ayo Semarakkan Hari Habitat Dunia - Hari Kota Dunia 2021!

Sehubungan dengan dampak besar terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh bangunan Gedung, maka kita harus mulai merubah konsep pembangunan bangunan gedung ke arah pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Konsep tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk Bangunan Gedung Hijau (BGH). Konsep BGH ini dianggap lebih baik dalam hal penggunaan sumber daya dibandingkan dengan bangunan gedung “konvensional”, dimana konsep BGH lebih mengedepankan pada efisiensi energi, air dan material.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah turut serta dalam penerapan konsep Bangunan Gedung Hijau pada proses pembangunan bangunan gedung. Kementerian PUPR telah menetapkan peraturan yang terkait dengan Bangunan Gedung Hijau yaitu melalui Peraturan Menteri (Permen) PU Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, Permen PUPR Nomor 05/PRT/M/2015 tentang Pedoman Umum Implementasi Konstruksi Berkelanjutan, dan Permen PUPR Nomor 02/PRT/M/2015 tentang Bangunan Gedung Hijau. Saat ini juga telah diterbitkan Permen PUPR Nomor 21 tahun 2021 tentang Penilaian Kinerja Bangunan Gedung Hijau yang merupakan salah satu turunan dari Peraturan Pemerintah (PP Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang - Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

Berdasarkan PP Nomor 16 Tahun 2021 dan Permen PUPR Nomor 21 Tahun 2021, Bangunan Gedung Hijau (BGH) didefinisikan sebagai bangunan gedung yang memenuhi standar teknis bangunan gedung dan memiliki kinerja terukur secara signifikan dalam penghematan energi, air, dan sumber daya lainnya melalui penerapan prinsip BGH sesuai dengan fungsi dan klasifikasi dalam setiap tahapan penyelenggaraannya. Tahapan penyelenggaraan bangunan mencakup perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pembongkaran. Pada masing-masing tahapan tersebut diharapkan kinerja bangunan dapat terukur sehingga kebutuhan target pengurangan konsumsi energi nasional dapat tercapai. Sesuai dengan PP Nomor 16 Tahun 2021, disebutkan bahwa Bangunan Gedung Negara dengan luas diatas 5.000 m2 (lima ribu meter persegi) wajib menerapkan prinsip-prinsip BGH. Aturan lebih detail terkait dengan BGH ini diatur dalam Permen PUPR Nomor 21 tahun 2021.

Prinsip-prinsip bangunan gedung hijau meliputi pengurangan sumber daya (lahan, material, air, sumber daya alam dan sumber daya manusia), pengurangan timbulan limbah, penggunaan kembali sumber daya yang telah digunakan sebelumnya, penggunaan sumber daya hasil siklus ulang, perlindungan dan pengelolaan terhadap lingkungan hidup melalui upaya pelestarian, mitigasi risiko keselamatan kesehatan perubahan iklim dan bencana.

Hal yang paling utama dalam penerapan bangunan gedung hijau adalah harus terpenuhinya standar teknis bangunan gedung. Dalam hal ini adalah standar perencanaan dan perancangan bangunan gedung, standar pelaksanaan dan pengawasan konstruksi bangunan gedung, standar pemanfaatan bangunan gedung, dan standar pembongkaran bangunan gedung sesuai dengan PP Nomor 16 tahun 2021.

Direktorat Prasarana Strategis sebagai salah satu unit kerja dibawah Kementerian PUPR mulai turut mengimplementasikan prinsip-prinsip Bangunan Gedung Hijau sejak awal dibentuk pada tahun 2019. Dalam pelaksanaan implementasi Bangunan Gedung Hijau, Direktorat Prasarana Strategis menggunakan pedoman Permen PUPR Nomor 02 tahun 2015 tentang bangunan gedung hijau dan Surat Edaran (SE) Direktorat Jenderal Cipta Karya Nomor 86 Tahun 2016 tentang petunjuk teknis penyelenggaraan bangunan gedung hijau. Tahapan penyelenggaraan BGH pada kedua peraturan tersebut kemudian diubah dalam Permen PUPR Nomor 21 tahun 2021 meliputi pemrograman, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pemanfaatan dan pembongkaran.

Parameter Bangunan Gedung Hijau untuk setiap tahapannya berbeda-beda. Dalam penerapannya, Direktorat Prasarana Strategis telah menerapkan Bangunan Gedung Hijau untuk tahapan perencanaan dan pelaksanaan konstruksi. Adapun Parameter penilaian kinerja BGH pada tahapan perencanaan adalah pengelolaan tapak, efisiensi penggunaan energi, efisiensi penggunaan air, kualitas udara dalam ruang, penggunaan material ramah lingkungan, pengelolaan sampah dan pengelolaan air limbah. Sedangkan parameter penilaian kinerja bangunan gedung hijau pada tahap pelaksanaan konstruksi adalah konfirmasi pemenuhan parameter bangunan gedung hijau tahap perencanaan, proses konstruksi hijau, praktik perilaku hijau dan rantai pasok hijau.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI