"Ini juga menandakan penerimaan ilegalitas dan impunitas di dalam pasukan oleh mereka yang bertanggung jawab mengawasi pasukan," katanya.
'Penyiksaan hal yang rutin'
Persatuan Rakyat untuk Hak Demokratis (PUDR), yang telah menyelidiki insiden kematian dalam tahanan polisi dan menerbitkan laporan sejak tahun 1980-an, mengatakan telah mendapat perlawanan besar dari departemen kepolisian untuk mendaftarkan pengaduan terhadap petugas yang dituduh sambil memberikan pendampingan terhadap keluarga korban.
PUDR mengatakan kematian paling sering merupakan konsekuensi yang tidak disengaja dari penyiksaan tahanan, yang merupakan bagian dari praktik rutin polisi.
"Ada pembangkangan terbuka terhadap perintah pengadilan. Mahkamah Agung telah memberikan arahan yang jelas tahun lalu untuk pemasangan kamera CCTV di setiap kantor polisi di seluruh negeri, tetapi menghadapi kesulitan sendiri untuk mendapatkan pernyataan tertulis kepatuhan dari berbagai negara bagian," kata sekretaris PUDR Radhika Chitkara kepada DW.
Pada bulan Agustus, hakim agung N. V. Ramana, menyatakan keprihatinannya atas pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di kantor polisi yang menyebabkan kematian di tahanan.
"Kurangnya perwakilan hukum yang efektif di kantor polisi merupakan kerugian besar bagi orang yang ditangkap atau ditahan," kata Ramana.
"Berdasarkan laporan baru-baru ini, bahkan orang-orang yang memiliki hak khusus tidak luput dari perawatan tingkat tiga," tambahnya.
Aturan hukum dilanggar
Baca Juga: Kerusuhan di Penjara Pecah, 24 Tahanan Tewas, 5 Kepala Napi Dipenggal
Namun, mereka yang mengalami penganiayaaan polisi adalah mereka yang tampaknya menjadi minoritas.