"Tantangan sampai sekarang adalah memang masih akses ke braille score … untuk bisa membaca score atau partitur adalah sangat penting bagi saya."
Sementara untuk mobiltas, Ria mengaku tidak memiliki masalah, meski ia juga memiliki 'guide', yakni seekor anjing bernama Max yang setia membantunya terutama saat Ria sedang 'travelling'.
'Jangan dibelaskasihani'
Media di Indonesia seringkali menampilkan mereka yang hidup dengan disabilitas seperti "orang-orang yang hebat", menurut Ria.
Ia mengatakan, sebagai akibatnya ada tekanan untuk membandingkan dengan mereka yang bisa mencetak prestasi atau melakukan banyak hal.
"Tapi tidak semudah itu, ada banyak proses yang terjadi di belakangnya. Jadi dengan menampilkan mereka seperti itu, tidak memberikan gambaran penuh soal apa yang kami alami," ujarnya.
"It takes a village to raise a child, kalau menurut pepatah dalam bahasa Inggris," kata Ria menjelaskan perlunya dukungan dan bantuan dari orang sekitarnya.
Ria mengaku seringkali mendapat pengalaman yang "asimetris". Saat orang lain bisa terinspirasi oleh penyandang disabilitas, di sisi lain ia juga pernah mengalami perlakuan yang berbeda karena status disabilitasnya.
"Orang yang punya disabilitas juga manusia, kita juga punya rasa, punya hati," ujar Ria.
"Jangan dibelaskasihani, tapi justru jadikanlah sebuah lingkungan yang kita semuanya bisa lebih mengaksesnya, sehingga kami bisa setara ."
Baca Juga: Enggan Penyandang Disabilitas Jadi Korban Pemerkosaan, Alasan Risma Minta Tunarungu Bicara
Ria mengatakan, di eranya pilihan hidup bagi tunanetra hanya ada dua, yakni menjadi musisi atau tukang pijat.