Suara.com - Viral di media sosial X atau Twitter pengadaan aloptik militer untuk TNI Angkatan Darat (AD) diduga digelembungkan. Publik meminta penjelasan atas dugaan kasus tersebut. Sebuah akun menyebut 50 unit monocullar NVG dengan pagu mencapai Rp50 miliar terlalu mahal. Pendapat ini kemudian ditimpali oleh netizen lain bahwa harga aslinya bahkan tak sampai Rp10 juta, namun dijual Rp1 miliar.
Pencarian Suara.com, Senin (23/6/2025) menunjukkan bahwa informasi pengadaan monocullar NVG ini telah tercantum dalam LPSE TNI AD. Pemenang tender adalah PT Granada Indo Spekta. Perusahaan ini bahkan tak memiliki pesaing saat memenangi proyek. Namun, sejauh ini belum ada konfirmasi secara langsung mengenai rincian penggunaan pagu untuk pengadaan monocullar NVG tersebut,
Sementara itu, sejumlah pakar hukum pernah menyebut bahwa pengadaan peralatan TNI memang rawan korupsi. Melansir Transparency International, hampir tiga perempat perusahaan pertahanan terbesar di dunia menunjukkan sedikit atau bahkan tidak ada komitmen dalam memberantas korupsi, berdasarkan penelitian pada 2020.
Indeks ini menemukan bahwa hanya 12% dari 134 perusahaan pertahanan global yang dinilai mendapatkan peringkat ‘A’ atau ‘B’, yang menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap anti-korupsi dan transparansi. Sementara 73% perusahaan pertahanan lainnya mendapatkan peringkat ‘D’ atau lebih rendah, yang menunjukkan komitmen yang rendah terhadap anti-korupsi dan transparansi. Sedangkan dari 36 perusahaan yang mendapat nilai ‘C’ atau lebih tinggi.
Industri pertahanan merupakan target utama dari korupsi karena banyaknya uang yang terlibat (pengeluaran militer global pada 2019 diperkirakan lebih dari $1,9 triliun), hubungan erat antara kontrak pertahanan dan politik, dan pendekatan kerahasiaan yang seringkali menjadi dalih dalam melakukan pengadaan persenjataan.
Dampak korupsi dalam perdagangan senjata juga sangat serius. Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia, J Danang Widoyoko, mengingatkan bahwa nilai kontrak pertahanan yang sangat besar akan terbuang percuma jika tidak dilaksanakan secara akuntabel untuk layanan yang esensial. “Korupsi dapat melanggengkan konflik dan memakan korban jiwa ketika pasukan militer dilengkapi dengan peralatan yang tidak memadai dan pejabat yang korup menggunakan keuntungan dari kesepakatan pertahanan untuk memperkuat posisi pribadi dan merusak demokrasi”, ungkap Danang.
Melansir Hukum Online, potensi dugaan korupsi di sektor alutsista terjadi mulai proses pembelian atau pengadaan sampai perawatan. Polanya berbentuk penggelembungan harga (mark-up), pembelian alutsista ‘under spec’ dan pemangkasan biaya perawatan. Ditambah lagi lemahnya kapasitas internal, transparansi dan akubtabilitas dalam proses pengadaan alutsista.
Sedikitnya ada 5 kondisi yang menyebabkan sektor pertahanan di Indonesia terutama pengadaan alutsista rawan korupsi. Pertama, tertutupnya ruang lembaga independen seperti KPK untuk mengusut kasus korupsi yang melibatkan aparat TNI. Ini disebabkan revisi UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang belum tuntas sampai sekarang.
Kedua, terlibatnya pihak ketiga (broker) dalam pengadaan alutsista. Ketiga, pembelian alutsista bekas membuka ruang terjadinya skandal korupsi karena sulit diawasi khususnya terkait proses retrovit. Keempat, dalih ‘rahasia negara’ dalam pembelian alutsista seringkali menyulitkan pemberantasan korupsi. Kelima, minimnya pengawasan internal dan eksternal (DPR) dalam proses pengadaan dan pemeliharaan alutsista.
Baca Juga: Bola Panas Pemakzulan Gibran, Ujian Loyalitas Prabowo atau Sekadar Politik Sandera?
Kasus korupsi sektor perusahaan alutsista ini pernah menjerat PT PAL di Surabaya, Jawa Timur pada 2017 silam. Peneliti ICW, Tama S Langkun, mencatat kasus PT PAL merupakan pertama kali KPK menangani perkara korupsi di sektor alutsista. Dia melihat modus korupsi yang digunakan dalam perkara tersebut yakni suap. Menurutnya KPK harus menelisik lebih jauh proses pembelian kapal laut itu, dia yakin ada kontrak yang diteken antara Indonesia dan Filipina. “Saya melihat disini ada tanggung jawab dari pihak Kementerian, KPK diharapkan menyasar itu juga. Perkara ini jangan selesai hanya pada perusahaan yang mengerjakan kapal (PT PAL,-red),” urainya.
Kontributor : Nadia Lutfiana Mawarni