Rumah tersebut adalah bantuan dari Komunitas Masyarakat Tawangsari (Komasta).
"Tapi baru sebatas dinding saja, belum ada jendela, belum ada listrik, masih banyak kekurangan. Kalau nanti ada rezeki, akan saya pasang jendela, pasang listrik," kata Andika lagi.
Dalam berjualan, Andika menggunakan sepeda roda tiga yang khusus dibuat untuk difabel.
Saat mengendarai motor roda tiganya di jalanan umum yang ramaidimana dia harus berinteraksi dengan pengguna jalan lainnya, ia mengaku kerap kesulitan.
"Dulu saya tidak bisa naik motor, namun setelah berkeluarga saya harus bisa. Walau juga saya pernah nabrak, pernah jatuh ke sawah bersama dengan motornya.
"Tapi saya senang sekarang bisa pergi ke Yogya kadang seminggu tiga kali membawa pesanan bagi mereka yang mau membeli karak."
Menguatnya jaringan kelompok difabel di Indonesia
Di Makassar, Sulawesi Selatan, nama Dr Ishak Salim dikenal sebagai pegiat difabel yang memiliki organisasi bernama Pergerakan difabel Indonesia untuk kesetaraan (PerDik).
Doktor ilmu politik lulusan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini bukan difabel, namun sudah lama tertarik dan bergiat dalam bidang pergerakan untuk membantu kelompok difabel.
Menurut Ishak Salim, dalam survei pertamaketika pandemi terjadi di tahun 2020 yang dilakukan jaringan difabel, ditemukan bahwa 86 persen difabel yang bekerja di sektor informal mengalami dampak pandemi.
Baca Juga: Menengok Serunya Peringatan Hari Disabilitas Internasional di Terowongan Kendal Sudirman
"
"Adanya pembatasan sosial membuat pendapatan harian mereka kalau dikalkulasi dalam rupiah berkurang Rp50 ribu sampai Rp100 ribu sehari," tuturIshak.
""Mereka ini bekerja sebagai tukang parkir, melakukan usaha pijat, berjualan kue, usaha menjahit yang terhenti karena tidak adanya pesta."
Namun, diakui olehnya, para difabel yang sudah memiliki akses digital, seperti Agustina, bisa bertahan selama pandemi, walaujumlah tersebut masih rendah.
Berdasarkan data Biro Pusat Statistik 2019, jumlah difabel di Indonesia adalah 21,5 juta orang atau sekitar8 persen dari populasi Indonesia.
Dari jumlah tersebut, menurut Ishak,baru sekitar 40 persen yang memiliki akses digital, seperti kepemilikan hape atau gawai lainnya.