"Kita sudah semakin dekat,” kata Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, soal tenggat keputusan. Namun begitu, masih ada "sejumlah isu-isu yang rumit dan masih harus dipecahkan.”
Dinamika baru dari Rusia Hambatan terakhir muncul pada Sabtu (5/3), ketika Menlu Rusia, Sergey Lavrov, menuntut Amerika Serikat menjamin agar Moskow masih bisa berdagang dengan Iran di tengah sanksi akibat invasi Ukraina.
Senin (7/3), Lavrov berbicara dengan Menlu Iran, Hossein Amirabdollahian, untuk membahas embargo ekonomi barat dan kelanjutan kerjasama nuklir antara kedua negara.
"Kami menentang perang atau penjatuhan sanksi. Sudah jelas bahwa kerja sama antara Iran dan semua negara, termasuk Rusia, tidak boleh terpengaruhi oleh atmosfer embargo,” tulis Amirabdillahian dalam keterangan pers.
Direktur Proyek Iran di International Crisis Group, Ali Vaez, menilai dinamika baru dari Rusia "belum akan” berdampak terhadap kelanjutan Perjanjian Nuklir.
"Tapi kini sudah tidak mungkin lagi untuk memisahkan dua krisis (Iran dan invasi Ukraina) untuk lebih lama lagi,” kata dia.
Perjanjian Nuklir 2015 menempatkan program pemerkayaan uranium di bawah pantauan Badan Energi Atom Internasional (IAEA).
Teheran diizinkan memerkaya uranium ke tingkat kemurnian sebesar maksimal 3,67 persen, dan hanya bisa menyimpan sebanyak 300 kg bahan dasar uranium.
Iran selama ini bersikeras program nuklirnya dikembangkan antara lain untuk keperluan medis.
Baca Juga: Konflik Rusia dan Ukraina, Elon Musk Ingatkan Soal Pasokan Minyak Dunia serta Reaktor Nuklir
Namun pada Februari silam, IAEA melaporkan cadangan uranium Iran sudah mencapai 3200 kilogram.