Jalan Panjang Berliku Mencari Perlindungan Untuk PRT

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Kamis, 10 Maret 2022 | 13:50 WIB
Jalan Panjang Berliku Mencari Perlindungan Untuk PRT
Pekerja Rumah Tangga (PRT). (Dok: Instagram/JalaPRT)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sudah 21 tahun  Sunarsih pergi. Ketika mengembuskan  napas terakhirnya usia Sunarsih masih 14 tahun. Dia  berangkat mengadu nasib dari Pasuruan, Jawa Timur ke Surabaya untuk menjadi pekerja rumah tangga. Tapi di Surabaya Sunarsih seolah hanya mengantar nyawa. Ia meninggal setelah mengalami penganiayaan oleh majikannya, Ita. Selama bekerja ia kerap dipukul, disekap dan dipaksa kerja tanpa henti hingga akhirnya meninggal pada 12 Februari 2001. 

Dalam proses hukumnya, keadilan tidak berpihak pada Sunarsih. Nyawa Sunarsih ditebus dengan vonis ringan. Ita hanya dihukum dua tahun penjara. Setelah selesai menjalani hukuman, ia bebas melenggang dan menjadi pelaku kekerasan lagi untuk Pekerja Rumah Tangga (PRT) lainnya. 

Kini 21 tahun kemudian kondisi serupa masih kerap dialami oleh ‘Sunarsih’ lainnya. Data Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mencatat bahwa sepanjang 2015 - 2022 terdapat 3.255 kasus kekerasan yang dialami oleh PRT di Indonesia. Jumlah tersebut juga terus meningkat setiap tahunnya. Sebagai perbandingan, kekerasan terhadap PRT pada tahun 2018 tercatat sebanyak 434 kasus. Angka itu meningkat di tahun 2019 menjadi 467 kasus. 

Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi (Jala) PRT Lita Anggraini mengatakan, bahwa PRT terkadang juga mengalami kekerasan berlapis seperti yang dialami oleh Sunarsih. Kekerasan itu berupa fisik hingga psikis. Kondisi tersebut menurut Lita terjadi akibat kekosongan tidak adanya pengakuan bahwa PRT merupakan bagian dari pekerja. 

PRT Sebagai Soko Guru 

Pekerja Rumah Tangga (PRT). (Dok: Instagram/JalaPRT)
Pekerja Rumah Tangga (PRT). (Dok: Instagram/JalaPRT)

Padahal peran PRT menurut Lita juga sangat vital. Bahkan, dalam istilah Lita PRT adalah soko guru atau tonggak perekonomian lokal, nasional dan global. Kerja-kerja yang dilakukan oleh PRT, lanjut Lita, adalah yang memastikan aktivitas publik di semua sektor bisa terus berjalan. 

“Padahal PRT itu penopang ekonomi dan aktivitas orang-orang. Misal semua bekerja dan tidak ada PRT yang mengerjakan pekerjaan domestik di rumah tentu akan susah,” kata Lita. 

Hingga saat ini saat ini PRT sendiri menjadi salah satu posisi jumlah tenaga kerja terbesar Indonesia.  Data ILO Jakarta 2015 jumlah PRT di Indonesia sebesar 4,2 juta, 84 persen di antaranya ialah perempuan. Kebutuhan akan PRT menurut Lita bahkan diperkirakan meningkat pada tahun 2021 hingga sekitar 5 juta. 

Oleh sebab itu terminologi pekerja dalam istilah PRT juga merupakan salah satu yang diperjuangkan oleh Lita bersama Jala PRT. Sebab istilah pembantu atau asisten rumah tangga menurut Lita, dan juga para PRT sangat bias dan abu-abu. 

Baca Juga: Jelang Peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga Nasional, DPR Didesak Sahkan RUU PPRT Jadi UU

“Tapi mereka kan bekerja, bukan hanya membantu. Mereka juga memenuhi unsur hubungan kerja karena unsur pekerjaan, perintah dan juga upah. Semua unsur hubungan kerja ada. Jelas posisinya sebagai pekerja,” ujar Lita. 

Dalam Konvensi ILO 189 Tentang Pekerjaan Yang Layak Bagi Pekerja Rumah istilah yang digunakan menurut Lita juga domestic worker dan bukan helper atau pembantu. 

“PRT juga pekerja. Tapi PRT sering  dikecualikan, tidak ada pengakuan dan perlindungan sebagai pekerja  tidak ada Peraturan Perundangan yang jelas, tegas dan mengikat,” ujar Lita kepada Suara.com beberapa waktu lalu.

Jalan Panjang Mencari Perlindungan PRT

Selama 18 tahun, bersama Jala PRT Lita juga terus berupaya mengadvokasi Rancangan Undang-undang Pekerja Rumah Tangga. Tapi, hingga hari ini hasilnya masih nihil. Lita mengungkapkan mandeknya pembahasan RUU PRT di DPR tidak lepas dari permasalahan bias gender, ras, feodalisme yang begitu kuat dan mengakar. 

Pekerja Rumah Tangga (PRT). (Dok: Instagram/JalaPRT)
Pekerja Rumah Tangga (PRT). (Dok: Instagram/JalaPRT)

“Para majikan selama ini mendapat keuntungan dari kerjaan PRT. Semua bisa diperintahkan. Ketika ada RUU menuntut ada perubahan sikap yang memanusiakan, dan tidak semena-mena mereka enggan. Kita tahu bahwa penyelenggara negara, baik di DPR, mayoritas mempekerjakan PRT. Sehingga conflict of  interest,” ujar Lita. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI