Klan Rajapaksa di persimpangan
Krisis ekonomi di Sri Lanka belakangan ini, diklaim sangat dipengaruhi oleh kebijakan Mahinda Rajapaksa saat menjabat presiden antara 2005 dan 2015.
Dia dianggap pahlawan oleh mayoritas Sinhala setelah menghancurkan pemberontakan Tamil tahun 2009, lewat taktik brutal yang mengakhiri perang saudara selama satu dekade.
Popularitas Mahinda mencuatkan klan Rajapaksa dari keluarga priayi di era kolonial menjadi dinasti politik paling berkuasa di Sri Lanka.
Di bawah kekuasaan Mahinda, Sri Lanka mendekat kepada Cina dan mengawali tradisi berutang ´ untuk membangun proyek infrastruktur raksasa, yang mendulang ragam tuduhan korupsi.
Paket pinjaman Cina sering dituduh menjerat negara miskin dalam jebakan utang, untuk membiayai proyek yang tidak menguntungkan.
Ketika 2017 silam Sri Lanka tidak mampu membayar utang untuk pelabuhan baru di Hambantota karena merugi, kepemilikan pelabuhan dialihkan kepada Cina selama 99 tahun.
Sejauh ini, Sri Lanka telah mengumpulkan utang luar negeri sebanyak USD 51 miliar yang tidak lagi mampu dibayar.
Sebab itu pula amarah demonstran banyak diarahkan kepada klan Rajapaksa, termasuk di antaranya Uskup Malcolm Ranjith, tokoh Katolik yang berpengaruh.
Baca Juga: Ditinggal Menteri Sendiri, Presiden Sri Lanka Ajak Oposisi Berkuasa
"Negeri ini terlalu berharga dengan rakyatnya yang cerdas. Tapi kecerdasan kita, kecerdasan rakyat, sudah dihina oleh tindak korupsi,” katanya dalam sebuah misa di Kolombo.