Globalisasi Telah Melewati Masa Puncaknya, Dunia Menuju Deglobalisasi?

Jum'at, 08 April 2022 | 10:25 WIB
Globalisasi Telah Melewati Masa Puncaknya, Dunia Menuju Deglobalisasi?
DW

Secara ekonomi, dampak utama krisis virus corona adalah gangguan rantai pasokan, yang sempat menghentikan produksi di berbagai sektor industri.

Gangguan tersebut telah mendorong perubahan mendasar dalam desain rantai pasokan indiustri, jelas Megan Greene, ekonom senior di Harvard Kennedy School.

"Pandemi telah menggeser tren dari manufaktur 'just-in-time' ke penyimpanan persediaan seperti dulu,” kata Megan Greene.

Dia menggambarkan sistem kontingensi baru ini sebagai "rantai pasokan global plus rencana cadangan", sehingga perusahaan tidak dibiarkan dalam kesulitan ketika ada gangguan pada rantai pasokan global.

Dalam model "rantai pasokan plus" ini, negara dan perusahaan telah mempertimbangkan untuk memperpendek rantai pasokan: "Malah mungkin kembali ke metode lama, yaitu membawa produksi input utama dan teknologi lebih dekat lagi ke lokasi produksi mereka," jelas Cora Jungbluth.

Douglas Irwin menerangkan, gangguan ekspor akibat perang dan sanksi mengakibatkan kenaikan harga secara drastis.

"Harga komoditas naik akibat dari perang: harga gandum, harga minyak … Itu semua membuat harga-harga bagi konsumen naik, yang pada gilirannya memicu inflasi."

Akhir dari globalisasi?

Beberapa ahli menilai perang di Ukraina dikombinasikan dengan dampak pandemi, adalah titik balik menuju deglobalisasi.

Baca Juga: Pentingnya Peran Orang Tua dalam Mendidik Anak di Era Globalisasi, Dibutuhkan Parenting Khusus

Ekonom Megan Greene mengatakan, hingga kini belum ada indeks untuk mengukur globalisasi.

Dia juga tidak setuju dengan narasi bahwa sudah terjadi regionalisasi rantai pasokan global, karena narasi ini tidak didukung oleh data survei tentang globalisasi.

Namun, bahkan Megan Greene juga mengakui, "Puncak globalisasi sudah ada di belakang kita, tetapi kita belum berada di wilayah deglobalisasi."

Jadi, apakah kita sekarang sedang menuju suatu era baru?

Itu diskusi yang biasa terjadi di masa krisis, kata sejarawan Andreas Wirsching.

"Anda dapat memikirkan dua momen ini: pandemi 2020 dan sekarang perang agresi pada 2022. Kita punya kesan seperti ada sesuatu yang berubah secara mendasar. Namun, apa sebenarnya yang sedang terjadi dan faktor apa saja yang berperan, itu hanya akan menjadi jelas di masa depan nanti," ujarnya. (hp/ha)

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI