Suara.com - Permusuhan CNRT dan Fretilin mengerucut pada pencalonan Jose Ramos-Horta dan Fransisco Guterres. Kedua bekas pejuang kemerdekaan itu berjanji mengeluarkan Timor Leste dari kebuntuan politik antarpartai.
Pada Selasa (19/4), sebanyak 860.000 dari 1,3 juta penduduk Timor Leste kembali menyambangi tempat pemungutan suara di seantero negeri untuk memilih presiden baru.
Pilihan dalam pemilu penentuan putaran kedua ini antara dua kadidat peraih suara terbanyak pada pemilihan putaran pertama. Yakni pemenang Nobel Perdamaian, Jose Ramos-Horta dan presiden petahana, Fransisco "Lu Olo” Guterres.
Pilpres Timor Leste tidak mengenal penghitungan cepat. Hasil pencoblosan, baru akan diumumkan secara resmi dalam beberapa hari kedepan. Selama itu pula kebuntuan politik antara kedua parpol masih akan bertahan.
Kandidat Kongres Nasional untuk Rekonstruksi Timor Leste (CNRT) yang diunggulkan, Ramos-Horta, berjanji akan mengakhiri krisis politik yang mendekap Timor Leste sejak 2018.
"Jika saya menang, saya akan berdialog dengan semua partai politik, termasuk Fretilin, agar mereka bisa bekerjasama merawat stabilitas dan perdamaian di Timor Leste,” kata Ramos-Horta setelah mencoblos.
Niat serupa diungkapkan pesaingnya, Guterres, yang menjanjikan "stabilitas nasional dan ketaatan penuh pada misi kepresidenan, yang tidak terpisahkan dari konstitusi,” tuturnya.
Para kandidat juga berkomitmen menghormati rekapitulasi suara terlepas dari siapa yang jadi pemenang pemilu presiden.
Terakhir, kedua tokoh politik itu bersaing dalam Pilpres 2007, yang dimenangkan Ramos-Horta dengan 69 persen suara.
Baca Juga: Pilpres Timor Leste Diulang, Tak Ada Kandidat Dapat Suara 50 Persen
Perpecahan politik perparah resesi Kandidat CNRT, Ramos-Horta, memenangkan putaran pertama Pilpres 2022 pada 19 Maret lalu dengan 46 persen suara. Adapun Guterres hanya mendapat 22 persen.