Sejumlah aparat berseragam Korps Bhayangkara dan militer, lanjut Leonard juga kerap terlihat di tempat-tempat yang didatangi para pesepeda dan tim Greenpeace Indonesia. Misalnya di Desa Timbulsloko, Sayung, Demak, dan di Desa Tegaldowo, Gunem, Rembang.
Leonard menambahkan, represi kian meningkat saat tim bergerak dari Semarang menuju Surabaya. Tim Chasing the Shadow mengalami teror berupa pengintaian dari orang tidak dikenal dan indikasi perusakan kendaraan.
"Puncaknya terjadi dalam perjalanan menuju Probolinggo, di mana ancaman jika kami melanjutkan perjalanan disampaikan secara terang-terangan, baik secara lisan maupun melalui penggembosan ban kendaraan," ucap dia.
Greenpeace menilai, hal tersebut sangat merusak prinsip demokrasi dan mencederai kebebasan berpendapat yang dijamin dalam konstitusi. Pola represif semacam ini juga banyak terlihat dalam kasus-kasus perampasan lahan, seperti di Kendeng dan Kulonprogo.
"Dalam melakukan kampanye, kami selalu menerapkan prinsip-prinsip antikekerasan," beber Leonard.
Ihwal Kampanye
Pesan kampanye yang dibawakan Greenpeace dalam kegiatan tur sepeda adalah mengabarkan kepada publik bahwa krisis iklim sudah terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia. Selain itu, krisis iklim juga mengancam sejumlah aspek dalam kehidupan, termasuk pangan dan sejarah kebudayaan.
"Justru, kegiatan bersepeda merupakan salah satu cara kami dalam mempromosikan solusi iklim untuk menciptakan masa depan Indonesia yang lebih baik. Sepeda merupakan simbol kendaraan yang paling minim emisinya sebagai solusi iklim."
Leonard menyebut, salah satu solusi untuk mencegah dampak krisis iklim adalah dengan melakukan akselerasi transisi energi. Dalam dokumen NDC, jika Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), transisi energi adalah hal mutlak yang harus dilakukan secara serius, ambisius, dan adil.
"Hal ini merupakan seruan Tim pesepeda Chasing the Shadow Greenpeace yang disampaikan secara damai, kreatif, dan terbuka."