Suara.com - Bintang sepak bola Brasil, Pele meninggal dunia di usia 82 tahun setelah berjuang mengalahkan penyakit kanker. Sosoknya dikenang sebagai bintang sepak bola termasyhur selama beberapa dekade, setelah berhasil menciptakan permainan yang indah dan selalu dikenang.
Menyadur AP, bagi kebanyakan orang Brasil, Pelé adalah fenomena budaya dan sosial. Dia adalah negarawan negara tanpa jabatan, peran yang dia mainkan sejak usia 17 tahun. Dia biasanya mengambil posisi politik yang tenang.
Terlahir miskin di sebuah kota kecil di tenggara Brasil, pemain sepak bola jutawan pertama di negara Amerika Selatan itu muncul di iklan bensin, pasta gigi, minuman tebu, sepeda, soda, sepatu bola, dan Viagra, hingga produk lainnya.
“Pele selalu tahu tempatnya. Jika itu adalah pertemuan dengan Ratu Elizabeth, Paus Yohanes Paulus II, Bono Vox atau hanya seorang anak yang dia temui di jalan, semua orang memperlakukannya dengan hormat,” kata mantan asistennya Pepito Fornos.
“Dia adalah anak laki-laki yang sama dari pedesaan, tetapi ketika dia berbagi meja dengan orang-orang, dia dengan cepat menjadi pusat perhatian,” lanjutnya.
Edson Arantes do Nascimento, atau secara global dikenal sebagai Pelé, meninggal di rumah sakit Sao Paulo pada Kamis (29/12/2022) waktu setempat. Sepanjang kariernya, dia berjalan di garis tipis antara ketenarannya dan aktif mengatasi masalah sosial.
Ia mendirikan sebuah badan amal dengan namanya dan mendedikasikannya untuk membantu anak-anak. Ia menjadi duta PBB. Kendati demikian, dia tidak secara terbuka mendedikasikan banyak waktu untuk aktivisme tujuan tertentu.
Sebagai pahlawan nasional kulit hitam modern pertama Brasil, Pelé jyga jarang berbicara tentang rasisme di negaranya, di mana orang kaya dan berkuasa cenderung berasal dari minoritas kulit putih.
Penggemar lawan bahkan kerap mengejek Pelé dengan nyanyian rasis "monyet" setiap berlaga di kandang ataupun seluruh dunia. Saking banyaknya ejekan rasis yang diterima, dia berkomitmen untuk terus melawannya dengan memberikan permainan sepak bola yang indah.
Baca Juga: Meninggal Dunia, Berikut Fakta-fakta Pele yang Jarang Diketahui
“Dia mengatakan bahwa dia tidak akan pernah bermain jika dia harus berhenti setiap kali mendengar nyanyian itu,” kata Angelica Basthi, salah satu penulis biografi Pelé.
“Dia adalah kunci kebanggaan orang kulit hitam di Brasil, tetapi tidak pernah ingin menjadi pembawa bendera,” tambahnya.
Kediktatoran militer di Brasil pada 1964-1985 tercatat telah menyiksa dan membunuh lawan-lawannya di Brasil. Kala itu, Pelé menjadi sorotan karena berfoto dengan para pemimpin pemerintahan dan berkata mereka tahu apa yang terbaik.
Saat Pelé mencetak gol yang dianggapnya sebagai gol ke-1.000 dalam kariernya pada tahun 1969, dia memohon kepada pihak berwenang "untuk merawat anak-anak kecil". Namun, dia tidak menyalahkan mereka atas kemalangan yang terjadi.
Pelé mengatakan dalam film dokumenter tahun 2021 bahwa dia merasakan tekanan dari Presiden Emilio Medici untuk bermain di Piala Dunia di Meksiko 1970. Alhasil, ia terpaksa melakukannya, meskipun hatinya ingin keluar dari tim nasional setelah penampilan buruk Brasil pada tahun 1966.
Tetap saja, sang bintang memukau dunia untuk terakhir kalinya di pesta olahraga terbesar itu. Gelar Piala Dunia ketiga pun datang untuk Brasil dan Pelé.
Kala itu, Pelé dan setiap pemain Brasil lainnya menerima Volkswagen dari sekutu diktator saat tiba dari Meksiko. Tidak ada pemain Brasil yang menolak hadiah tersebut. Tetapi Pelé dikritik paling keras mengingat status pahlawannya.
“Saat itu saya tidak ingin menjadi Pelé,” katanya. "Kami tahu banyak hal yang sedang terjadi di negara ini."
Pelé pensiun dari tim nasional Brasil pada tahun 1971. Tiga tahun kemudian, ia meninggalkan klub masa kecilnya Santos dan pindah ke Amerika Serikat untuk bermain untuk New York Cosmos, setelah dibujuk oleh Sekretaris Negara ASHenry Kissinger.
Selama tahun-tahun itu, Pelé aktif berbicara tentang cinta, merawat anak-anak, dan menghentikan perang. Pemain Brasil itu menyelesaikan karier sepak bola profesionalnya pada tahun 1977 dan pulang ke negaranya, saat demokrasi kembali.
Hubungan enam tahun Pelé dengan pembawa acara TV populer Xuxa Meneghel juga mendongkrak ketenaran pasca-sepak bolanya secara nasional pada awal 1980-an.
Meneghel berusia 17 tahun ketika mereka mulai berkencan, satu tahun lebih muda dari usia legal di Brasil. Pelé yang kala itu berusia 20 tahun lebih tua dari Meneghel pun harus meminta izin ayahnya untuk berkencan.
Pelé menjadi lebih vokal politik saat pensiun. Dia mengkritik Ricardo Teixeira, yang saat itu menjabat sebagai ketua konfederasi sepak bola Brasil dan menantu Presiden FIFA saat itu João Havelange (1916-2016). Akibatnya, dia dilarang mengikuti undian untuk Piala Dunia 1994.
Pada tahun 1995, Pelé menjadi menteri olahraga di pemerintahan kanan-tengah Presiden Fernando Henrique Cardoso, tetapi menghabiskan tujuh tahun bekerja mempertahankan profil publik yang relatif rendah.
Selama beberapa dekade, pertemuan dan penyambutan Pelé dengan para pemimpin di seluruh dunia membuahkan hasil yang luar biasa baginya dan sekutunya.
Pelé adalah salah satu tokoh kunci dari kemenangan tawaran Rio de Janeiro untuk menjadi tuan rumah Olimpiade 2016, ketika dia menjadi pusat perhatian lagi pada pertemuan Komite Olimpiade Internasional pada tahun 2009.
“Semua orang datang untuk melihat Pelé dan kemudian yang lain (delegasi) memiliki kesempatan untuk berbicara dengan Pelé juga,” kata mantan Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva dalam sebuah wawancara setelah kemenangan Rio atas Chicago, Tokyo dan Madrid.
“Dan siapa yang bisa menyalahkan para delegasi? Saya akan menginginkan hal yang sama," ucapnya.
Pelé kemudian berjuang dengan masalah mobilitas, di mana ia menyalahkan operasi pinggul yang gagal sebagai penyebabnya. Ia lantas membuat penampilan besar terakhirnya dengan kursi roda di Piala Dunia 2018 Rusia.
Kala itu, rival abadinya, Diego Maradona dari Argentina, mencium kepalanya di depan kamera. Presiden Rusia Vladimir Putin - yang tahun ini menerima surat dari Pelé yang memintanya untuk menghentikan invasi ke Ukraina - membantu membawanya berkeliling.
“Bertahun-tahun yang lalu, saya berjanji pada diri sendiri bahwa, selama saya bisa, saya akan selalu menyuarakan perdamaian,” kata Pelé dalam surat tertanggal 1 Juni.