Suara.com - Terdakwa utama kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua yakni Ferdy Sambo divonis hakim PN Jakarta Selatan dengan hukuman mati. Vonis itu lebih berat ketimbang tuntutan jaksa yang menuntut eks Kadiv Propam Polri itu hukuman bui seumur hidup.
Vonis mati ini banyak direspons publik dengan positif. Hakim dianggap sudah memutus dengan adil atas apa yang telah dilakukan Ferdy Sambo membunuh Brigadir Yosua. Bahkan, tak ada hal yang meringankan Sambo dalam pertimbangan hakim.
Namun demikian, pakar hukum sekaligus mantan hakim yakni Asep Iwan Iriawan mewanti-wanti masyarakat agar tak senang dulu atas vonis mati terhadap Ferdy Sambo. Apa pasal?
Menurut pakar hukum yakni kini mengajar di Universitas Trisakti itu, ada dua alasan, kenapa masyarakat jangan senang dulu atas vonis mati kepada Ferdy Sambo.
Dikutip dari kanal YouTube Metro TV, Selasa (14/2/2023), ahli pidana yang pernah menjadi hakim di PN Jakarta Pusat itu sepakat dengan vonis mati yang dijatuhkan kepada Ferdy Sambo.
“Sudah saya katakan di awal, kalau saya hakimnya saya matiin. Tapi detik-detik terakhir kita khawatir ada perubahan-perubahan kalau istilahnya Pak Mahfud ada gerilya. Kita hormati, kita hargai, ternyata Majelis mengikuti hati nuraninya,” kata Asep Iwan Iriawan.
Meski hakim telah menjatuhkan vonis mati, Asep mengingatkan, dalam KUHP yang baru mengatur, kalau orang dihukum mati, hukuman mati bisa berubah.
"Karena hukuman mati ini hukuman alternatif, jadi tiga tahun nanti kemudian akan diganti (diberlakukan RKUHP baru) berarti di 2025 itu RKUHP yang baru berlaku, itu disebutkan orang menjalani hukuman mati, kalau sudah menjalani hukuman 10 tahun bisa berubah hukumannya, bisa seumur hidup, bisa 20 tahun, bisa dapat remisi-remisi ujungnya mungkin perjalanannya cuma (dihukum) 15 tahun," tutur Asep.
Asep kemudian melanjutkan, selain soal KUHP baru, kedua adalah ada Undang-undang grasi. Di mana dalam UU Grasi mengatakan, eksekusi mati belum dilaksanakan
"Kedua, ada undang-undang grasi, grasi itu mengatakan, kalau orang mengajukan grasi, eksekusi belum bisa dilaksanakan, jadi setidaknya ada dua UU, UU grasi dan KUHP yang baru," ujar dia.