Sutradara dan Narasumber Dirty Vote Dilaporkan, Koalisi Sipil: Bentuk Pembungkaman Kritik dan Fakta

Rabu, 14 Februari 2024 | 03:00 WIB
Sutradara dan Narasumber Dirty Vote Dilaporkan, Koalisi Sipil: Bentuk Pembungkaman Kritik dan Fakta
Film Dirty Vote [YouTube]

Suara.com - Koalisi masyarakat sipil mengecam langkah Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Santri Indonesia (DPP Foksi) yang melaporkan sutradara dan tiga pakar hukum tata negara pengisi film dokumenter Dirty Vote ke Mabes Polri.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Dimas Bagus Arya menilai, langkah yang dilakukan Foksi sebagai bentuk pembungkaman pihak-pihak yang mengungkap dugaan kecurangan pemilu

"Langkah itu merupakan upaya untuk membungkam pihak-pihak yang mengungkap dugaan kecurangan pemilu dan menghambat hak publik untuk mengakses informasi maupun partisipasi publik melakukan kontrol sosial atas penyelenggaraan Pemilu 2024," katanya melalui keterangan tertulisnya, Selasa (13/2/2024).

Sebelumnya, DPP Foksi melaporkan tim yang terlibat dengan Pasal 287 ayat (5) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Film Dirty Vote dianggap melanggar ketentuan di masa tenang Pemilu.

Pelapor menuding Dirty Vote sebagai black campaign atau kampanye hitam terhadap salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.

"Narasi ini menggunakan dalih waktu peluncuran Dirty Vote yang bertepatan dengan masa tenang sebelum pemungutan suara Pemilu 2024, ucap Dimas.

Tak hanya itu, ia mengatakan tudingan yang disampaikan DPP Foksi merupakan hal yang keliru.

Menurut Dimas, hal pertama yang perlu digarisbawahi, yakni dokumenter Dirty Vote diproduksi secara kolaboratif oleh jurnalis dan organisasi masyarakat sipil di antaranya AJI, Bangsa Mahardhika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Greenpeace, ICW, JATAM, Jeda untuk Iklim, KBR, LBH Pers, Lokataru, Perludem, Salam 4 Jari, Satya Bumi, Themis Indonesia, WALHI, Yayasan Dewi Keadilan, Yayasan Kurawal dan YLBHI.

"Pembiayaan film ini juga berasal dari sumbangan individu dan organisasi masyarakat sipil," ucapnya.

Baca Juga: Ajakan Tak Golput Feri Amsari: Pastikan Rezim Kita Tumbangkan

Kedua, lanjut Dimas, narasi ‘kampanye hitam’ yang disokong dengan penggunaan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya Pasal 280 dan 287.

Pasal 280 ayat (1) sampai (4) tentang larangan dalam kampanye pemilu sama sekali tidak melarang pengungkapan atau publikasi fakta-fakta pelanggaran pemilu seperti yang diungkap dalam Dirty Vote.

"Upaya untuk menarasikan Dirty Vote sebagai kampanye hitam merupakan bentuk deligitimasi terhadap kritik dan fakta-fakta yang disajikan pada film tersebut," jelasnya.

Kemudian, yang ketiga, film dokumenter itu tidak dibuat untuk menguntungkan atau merugikan peserta pemilu tertentu.

Sebaliknya, dokumenter ini merupakan kajian kritis berdasarkan fakta-fakta yang telah dipublikasikan sebelumnya dalam berbagai karya jurnalistik.

"Seluruh kandidat capres-cawapres yang berkontribusi pada bentuk-bentuk dugaan kecurangan Pemilu 2024 disebut dalam film berdurasi hampir 2 jam tersebut. Tudingan DPP Foksi sama seperti pola-pola serangan balik terhadap berbagai kritik sebelumnya terhadap pemerintah," jelasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI