Suara.com - Atas permintaan Amerika Serikat, Qatar telah meminta Hamas untuk meninggalkan wilayahnya setelah kelompok militan Palestina tersebut menolak usulan baru terkait pembebasan sandera, menurut beberapa pejabat pemerintahan Biden yang dihubungi Al-Monitor.
Bersama Mesir, Qatar telah menjadi mediator dalam negosiasi tidak langsung antara Israel dan militan mengenai kemungkinan gencatan senjata dan kesepakatan terkait penyanderaan di Jalur Gaza.
Pada hari Senin, Departemen Luar Negeri AS mengungkapkan bahwa Hamas telah menolak tawaran terbaru untuk gencatan senjata jangka pendek di Palestina, di mana kampanye militer Israel selama 13 bulan telah ditaksir mengakibatkan lebih dari 43.000 kematian.
Seorang pejabat senior dari pemerintahan Biden menyatakan bahwa Qatar telah berperan "tak ternilai" dalam membantu membebaskan hampir 200 orang yang diculik pada 7 Oktober tahun lalu. Namun, kehadiran Hamas di Qatar dianggap "tidak lagi pantas atau bisa diterima," mengingat penolakan yang terus-menerus untuk membebaskan sejumlah kecil dari 101 sandera yang tersisa, di mana diperkirakan sepertiga dari mereka telah meninggal.
Baca Juga: Ada Pemilih Arab dan Muslim di Balik Kemenangan Donald Trump
"Setelah menolak berbagai usulan untuk membebaskan sandera, para pemimpinnya seharusnya tidak lagi diterima di ibu kota mana pun dari mitra Amerika," tutur pejabat tersebut.
Sekitar dua minggu lalu, Amerika Serikat meminta Qatar untuk mengusir Hamas, dan Qatar segera menginformasikan kepada kelompok tersebut. "Ini bukan permintaan," kata pejabat AS lainnya. "Pesan dari Qatar kepada Hamas secara garis besarnya adalah 'kemasi barang-barangmu dan pergi.'"
Qatar sering berfungsi sebagai perantara bagi Amerika Serikat dengan sejumlah negara, termasuk Rusia dan Iran, serta gerakan Islamis di wilayah tersebut. Negara kaya gas ini telah menjadi tempat para pemimpin politik Hamas yang diasingkan sejak mereka meninggalkan markas mereka di Damaskus, Suriah, pada 2012.
Para pejabat Qatar menyatakan bahwa mereka menerima Hamas atas permintaan pemerintahan Obama untuk membangun saluran komunikasi tidak langsung dengan kelompok tersebut. Hingga saat ini, pemerintahan Biden menolak untuk meminta Doha menutup kantor politik Hamas karena khawatir akan dampak negatif terhadap negosiasi gencatan senjata jika kelompok tersebut mengalihkan lokasi ke negara musuh, seperti Iran.
Ketika negosiasi penyanderaan terhenti awal tahun ini, beberapa anggota Kongres dari Partai Republik dan beberapa Demokrat menyalahkan Qatar karena dianggap tidak memanfaatkan hubungan dengan kelompok teroris yang terdaftar oleh AS tersebut. Dalam sebuah surat kepada Menteri Luar Negeri Antony Blinken dan Jaksa Agung Merrick Garland, sekelompok 14 anggota Senat Republik menyerukan ekstradisi pemimpin Hamas di Doha, Khaled Meshal, dan meminta pemerintah untuk "meminta Qatar mengakhiri dukungannya terhadap pemimpin senior Hamas." Beberapa pejabat AS menyatakan bahwa para pejabat Hamas yang diasingkan kemungkinan akan pindah ke Iran, yang merupakan pendukung terbesar secara finansial dan militer bagi kelompok tersebut, serta Turki, yang selama ini menyambut tokoh-tokoh politik Hamas.
Baca Juga: Menang Pilpres AS, Donald Trump Sapu Bersih Tujuh Negara Bagian
Basem Naim, seorang pejabat senior Hamas yang bermarkas di Doha, mengatakan kepada Al-Monitor bahwa dirinya tidak mengetahui informasi tersebut. Sementara itu, seorang perwakilan Kedutaan Besar Qatar di Washington tidak memberikan tanggapan terhadap permintaan komentar.