Suara.com - Persoalan perempuan di Nusa Tenggara Barat (NTB) sangat kompleks. Namun selama debat pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur NTB berlangsung, persoalan perempuan jarang masuk dalam pembahasan.
"Ketiga paslon ini masih mencari jalan aman atau save away. Bahkan beberapa paslon tidak berani mengungkap soal perempuan. Pernikahan dini tidak ada yang menyingung," Ketua Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah (PWNA) NTB Miftahul Jannah.
Ia mengatakan sudah membaca berbagai program kerja yang sudah tertuang di dalam visi–misi ketiga pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur NTB.
Dari program kerja yang dibuat oleh para calon kepala daerah tersebut tidak ada satu pun yang menjelaskan secara jelas mengenai peran perempuan.
“Mereka belum punya konsep yang jelas tentang isu perempuan. Tidak ada solusi yang berani ditawarkan,” jelasnya.
Menurutnya, perempuan harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk pembangunan daerah. Tentu ini akan berdampak pada Indeks Pemberdayaan Gender (IDG).
“Kita masih di bawah Papua, IDG ini dilihat dari partisipasi perempuan dalam ranah politik, pendidikan dan ekonomi,” terangnya.
Ia mencontohkan, program unggulan pasangan calon nomor 2 Zulkieflimansyah – Suhaili yaitu tentang industrialisasi. Namun pada pembahasan program ini menurutnya tidak ada pembahasan tentang perempuan.
"Padahal kan di industrialisasi itu yang paling banyak bergerak adalah perempuan. UMKM itu kan yang banyak perempuan. Laki-lakinya pengambil kebijakan," katanya.
Menurut Miftah, visi-misi yang dihadirkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur NTB ini masih bersifat umum. Belum menyentuh hal yang paling fundamental perihal perempuan.
Miftah menyebutkan ada sejumlah kemungkinan yang menyebabkan hal tersebut masih terjadi. Paling mendekati itu, mereka (para paslon) tidak memiliki pengalaman pribadi dengan isu-isu perempuan.
“Kekerasan seksual, pernikahan dini, tingginya angka stunting, isu perempuan sebagai kepala keluarga, isu pekerja migran Indonesia, ini semuanya berkenaan dengan perempuan,” ujar Miftah.
Menurutnya, memperhatikan kepentingan perempuan harus menjadi isu utama. Karena perempuan pasti menjadi eksekutor program kerja pemerintah di tingkat akar rumput.
“Sebenarnya memasukkan perempuan di dalam isu program kerja bukan sesuatu yang tidak mungkin, dan ini sebenarnya memberikan nilai tawar yang lebih besar karena perempuan adalah pelaksana. Tetapi belum dimaksimalkan,” tandasnya.
Hal senada disampaikan oleh Akademisi UIN Mataram sekaligus Pegiat Gender dan Pengamat Politik, Purnami Safitri. Ia melihat masih minim pembahasan tentang persoalan perempuan dari ketiga paslon, meskipun dua paslon memiliki calon perempuan.