Suara.com - Anggota DPR RI dari Fraksi PKB Syamsu Rizal menegaskan bahwa penempatan prajurit TNI aktif di jabatan sipil harus dibahas secara matang dalam revisi Undang-Undang (UU) TNI.
Hal ini penting untuk mencegah timbulnya gejolak di masyarakat dan memastikan netralitas TNI tetap terjaga.
Pemerintah telah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU TNI ke Komisi I DPR, yang mengusulkan perluasan penempatan TNI aktif di 15 Kementerian/Lembaga (K/L), dari sebelumnya hanya 10 K/L.
"Penempatan prajurit TNI di ranah sipil harus tetap melalui pembahasan dan pertimbangan yang matang agar masyarakat tidak antipati dengan TNI dan memunculkan gejolak di tengah masyarakat," kata Syamsu Rizal kepada wartawan, Kamis (13/3/2025).
Syamsu Rizal menekankan bahwa ruang bagi personel aktif TNI untuk menduduki jabatan sipil harus disertai pembatasan ketat.
Tujuannya untuk mencegah tumpang tindih wewenang dan intervensi militer di ranah pemerintahan.
"Fungsi TNI sebagai garda depan pertahanan negara. Jangan sampai peran itu tumpang tindih dengan profesionalisme di ranah sipil," ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa penempatan individu dalam jabatan harus didasarkan pada prinsip meritokrasi.
Artinya, analisis kebutuhan spesifik dan kualifikasi tertentu harus menjadi dasar penempatan, bukan sekadar bagi-bagi jabatan.
Baca Juga: TB Hasanuddin: Posisi Letkol Teddy Sebagai Seskab Langgar UU TNI, Harus Mundur dari Militer!
"Jadi bukan orientasi bagi-bagi jabatan atau orientasi 'cuan' tapi tetap pada 'semangat' pengabdian," tegasnya.
Aturan Lama vs Usulan Baru
Berdasarkan Pasal 47 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, prajurit aktif hanya boleh menjabat di 10 Kementerian/Lembaga tertentu, seperti Kantor Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Mahkamah Agung, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertanahan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, dan Narkotika Nasional.
Prajurit yang ingin menjabat di luar bidang tersebut harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif.
Namun, dalam DIM RUU TNI, pemerintah mengusulkan perluasan penempatan TNI aktif di 15 K/L.
Syamsu Rizal mengingatkan, jika perluasan ini dilakukan, harus ada transparansi dan seleksi ketat.
"Jika mengacu pada UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, memang hanya lembaga dengan fungsi teknis terkait pertahanan dan lainnya yang dapat dipertimbangkan untuk melibatkan personel aktif TNI. Itu pun dengan syarat kompetensi dan transparansi seleksi yang terukur," ungkapnya.
![Ilustrasi Sidang DPR. [Suara.com/Bagaskara]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/03/13/18241-ilustrasi-sidang-dpr.jpg)
Saat ini Revisi UU TNI sedang dalam pembahasan intensif di DPR RI. Komisi I DPR menjadi pihak yang paling aktif dalam membahas dan menggodok draf revisi.
Meski begitu, Revisi UU TNI menuai prokontra dari berbagai pihak. Sejumlah pengamat, LSM, dan tokoh masyarakat sipil menolak revisi ini karena dianggap dapat mengancam reformasi sektor keamanan dan supremasi sipil.
Sementara itu, pihak pemerintah dan sebagian anggota DPR mendukung revisi ini dengan alasan untuk meningkatkan efektivitas dan profesionalitas TNI.
Sebelumnya, DPR telah mengadakan serangkaian RDP dengan berbagai pihak terkait, termasuk TNI, Kementerian Pertahanan, pengamat militer, dan organisasi masyarakat sipil untuk mendapatkan masukan dan pandangan terkait revisi ini.
Namun dalam prosesnya, pembahasan revisi UU TNI dikritik karena dianggap kurang transparan dan melibatkan partisipasi publik yang terbatas.
Lantaran itu, beberapa pihak mendesak agar pembahasan revisi UU TNI ditunda hingga pemerintahan baru terbentuk setelah Pemilu 2024.
Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa revisi ini dibahas secara komprehensif dan melibatkan seluruh elemen masyarakat. Hingga saat ini, draf final revisi UU TNI belum disepakati oleh DPR dan pemerintah. Masih ada beberapa poin krusial yang perlu diselesaikan dan disepakati bersama.
Syamsu Rizal juga menegaskan pentingnya melibatkan tim verifikasi independen dalam proses seleksi personel TNI yang akan ditempatkan di lembaga sipil. Hal ini untuk menghindari praktik nepotisme atau intervensi politik.
"Pembahasan ini harus dilakukan dengan hati-hati untuk mempertahankan kesatuan dan keutuhan bangsa. Bagaimanapun, jangan melupakan esensi reformasi TNI pasca-Orde Baru, di mana netralitas dan profesionalisme militer adalah kunci keberhasilan demokrasi Indonesia," katanya.
Saat ini, Komisi I DPR masih mengumpulkan masukan dari berbagai pihak, termasuk akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan pakar hukum, untuk memastikan revisi UU TNI berjalan transparan dan mengakomodir kepentingan publik.
"Kami membahas lebih detail dalam rapat Panja RUU TNI di Komisi I," tambahnya.
Saat ini Revisi UU TNI sedang dalam pembahasan intensif di DPR RI. Komisi I DPR menjadi pihak yang paling aktif dalam membahas dan menggodok draf revisi.
Meski begitu, Revisi UU TNI menuai prokontra dari berbagai pihak. Sejumlah pengamat, LSM, dan tokoh masyarakat sipil menolak revisi ini karena dianggap dapat mengancam reformasi sektor keamanan dan supremasi sipil.
Sementara itu, pihak pemerintah dan sebagian anggota DPR mendukung revisi ini dengan alasan untuk meningkatkan efektivitas dan profesionalitas TNI.
Sebelumnya, DPR telah mengadakan serangkaian RDP dengan berbagai pihak terkait, termasuk TNI, Kementerian Pertahanan, pengamat militer, dan organisasi masyarakat sipil untuk mendapatkan masukan dan pandangan terkait revisi ini.
Namun dalam prosesnya, pembahasan revisi UU TNI dikritik karena dianggap kurang transparan dan melibatkan partisipasi publik yang terbatas.