Suara.com - Langit Samboja siang itu biru cerah, tapi kaki Menteri ESDM Bahlil Lahadalia tak sempat bersantai.
Di tengah panas Kalimantan Timur, ia melangkah mantap menuju Fasilitas Penerimaan Darat (ORF) Jangkrik.
Di sinilah napas energi Indonesia berdenyut, dan Bahlil datang membawa satu pesan. Percepat.
"2028, bukan 2029," ujarnya tegas kepada para petinggi Eni—kontraktor migas asal Italia.
Perusahaan itu tengah memegang potensi besar di Selat Makassar, dan pemerintah tak ingin menunggu terlalu lama untuk mengeksplorasinya.
Blok North Ganal, begitu nama ladang gas itu, menyimpan harta karun. 5 triliun kaki kubik gas.
Cukup untuk menjadikan Eni salah satu pemain utama gas dunia. Dan Indonesia tak mau hanya menonton.
Jika semuanya lancar, mulai 2028 akan mengalir tambahan 1.500 MMSCFD gas dan 90.000 BOEPD kondensat.
Itu bukan angka kecil—bisa jadi amunisi penting untuk menutup defisit migas nasional yang kini hampir 1 juta barel per hari.
Baca Juga: Bahlil: Putusan Tambahan LPG Hingga BBM dari AS Belum Final
Konsumsi kita 1,5 juta BOPD, tapi produksi baru 580 ribuan. Jelas, ada lubang besar di situ.
Tapi Bahlil tak hanya datang untuk Eni. Bersama Kepala SKK Migas Djoko Siswanto, Dirut Pertamina Simon Aloysius Mantiri, dan Gubernur Kaltim Rudi Mas'ud, ia juga menyambangi South Processing Unit (SPU) milik Pertamina Hulu Mahakam (PHM).
Dulu fasilitas ini dikelola Total Indonesie, sekarang tangan anak bangsa yang memegang kendali.
SPU adalah tempat minyak dan gas dari Blok Mahakam dan sekitarnya ‘dimurnikan’ sebelum meluncur ke Bontang dan Balikpapan.
Gas ke kilang PT Badak NGL, minyak diantar kapal tanker ke kilang Balikpapan.
Dan yang menarik, PHM kini tengah menghidupkan kembali sumur-sumur tua—sumur yang sudah lama dianggap kehabisan napas.