Kejagung Usut Dugaan Korupsi Kredit PT Sritex, Sejumlah Bank Pemerintah Diperiksa

Selasa, 06 Mei 2025 | 08:52 WIB
Kejagung Usut Dugaan Korupsi Kredit PT Sritex, Sejumlah Bank Pemerintah Diperiksa
Meski dinyatakan pailit, Kejaksaan Agung menyelidiki dugaan koruspsi pemberian kredit kepada PT Sritex dari kreditur bank pemerintah. [Instagram/sritexindonesia]

Suara.com - Kejaksaan Agung (Kejagung) terus mengembangkan penyidikan dugaan korupsi pemberian kredit kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex/SRIL).

Perusahaan tekstil raksasa milik keluarga Lukminto itu kini tengah disorot, setelah sebelumnya dinyatakan pailit dan menutup operasionalnya per 1 Maret 2025.

Pemeriksaan kini mengarah pada sejumlah bank yang diduga menjadi pemberi kredit kepada Sritex. Hal ini diungkap oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI, Harli Siregar, Senin 5 Mei 2025.

Harli menyatakan bahwa penyidikan masih bersifat umum dan bertujuan mengumpulkan fakta hukum awal atas dugaan tindak pidana korupsi.

"Hingga saat ini beberapa bank informasinya dari penyidik juga sudah dilakukan permintaan keterangan," kata Harli di Gedung Kejagung.

Meskipun belum menyebutkan nama-nama bank secara spesifik, Harli menekankan bahwa penyidik dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) masih mendalami berbagai dokumen serta permintaan keterangan dari pihak terkait.

Tujuannya yakni menemukan ada atau tidaknya indikasi perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara.

"Jadi, penyidik masih berfokus pada penemuan fakta itu. Karena memang kan harus berawal dari apakah memang ada indikasi tindak pidana korupsi itu harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup," jelas Harli.

Fokus Bank Pemerintah

Baca Juga: Diam-diam Kejagung Sidik Dugaan Korupsi Sritex, Ini Informasinya

Meski PT Sritex adalah perusahaan swasta, Kejagung menilai penting untuk mengusut proses pemberian kredit yang melibatkan dana dari bank pemerintah dan bank daerah.

Menurut Harli, hal ini mengacu pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menyebutkan bahwa keuangan daerah juga termasuk keuangan negara.

"Nah itu yang saya sampaikan bahwa bank pemberi kredit ini kan bank pemerintah," katanya.

Poin krusial yang menjadi perhatian Kejagung adalah apakah ada penyalahgunaan wewenang atau prosedur dalam proses pemberian kredit, yang pada akhirnya berujung pada kerugian negara.

Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar. (Suara.com/Faqih)
Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar. (Suara.com/Faqih)

Harli menyebut, proses penyidikan akan menentukan sejauh mana kredit yang dikucurkan kepada PT Sritex telah sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan regulasi yang berlaku.

"Nah oleh karenanya kita melihat apakah dana-dana yang diberikan sebagai pinjaman ke PT Sritex oleh uang pemerintah ini dan bank daerah ada terindikasi ya," ucap Harli.

"Itulah yang mau dilihat dari sisi apakah ada kerugian negara di situ," sambungnya.

Dari Raksasa Tekstil ke Status Pailit

PT Sritex sempat dikenal sebagai salah satu eksportir tekstil terbesar di Asia Tenggara. Perusahaan ini bergerak di berbagai lini, mulai dari pemintalan benang, pembuatan kain, hingga konveksi pakaian jadi, termasuk seragam militer.

Namun, pada awal 2025, Sritex resmi dinyatakan pailit setelah gagal membayar utang-utangnya kepada sejumlah kreditur. Proses kepailitan ini mengakhiri operasional perusahaan yang telah berdiri sejak 1966 tersebut.

Sebelumnya diberitakan, Sritex memutus hubungan kerja terhadap lebih dari 10 ribu karyawannya selama Januari-Februari 2025.

Sementara utang yang belum dibayar mencakup pinjaman dari berbagai entitas, mulai dari bank BUMN hingga swasta nasional dan asing.

Termasuk di antaranya, pinjaman dari bank pemerintah yang kini menjadi sorotan Kejagung.

Penutupan Sritex menjadi pukulan telak bagi sektor manufaktur tekstil di Indonesia.

Terlebih, perusahaan ini sebelumnya mempekerjakan lebih dari 30 ribu orang dan menjadi bagian dari ekosistem industri tekstil dalam negeri.

Langkah Kejagung menyidik kasus ini menandai keseriusan pemerintah dalam menelusuri potensi kerugian negara akibat pemberian kredit bermasalah kepada perusahaan swasta besar.

Pemeriksaan terhadap bank-bank pemberi pinjaman juga dapat membuka tabir lebih luas, apakah terdapat penyimpangan prosedur atau intervensi dalam proses persetujuan kredit.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI