Suara.com - Protes keras dilayangkan sejumlah guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad) terhadap Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Mereka menilai Kementerian Kesehatan (Kemenkes) secara sepihak mengambil alih fungsi dan desain pengelolaan pendidikan tenaga medis usai terbitnya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Dalam konferensi pers virtual yang digelar pada Senin, 19 Mei 2025, Guru Besar FK Unpad Johanes Cornelius Mose menegaskan bahwa sejak pertama kali pendidikan kedokteran hadir di Indonesia tahun 1928, pengelolaannya selalu melibatkan tiga komponen penting.
"Harus ada Kementerian Kesehatan yang membangun fasilitas pendidikan rumah sakit pendidikan. Lalu ada Fakultas Kedokteran atau Kementerian Pendidikan Tinggi yang mengatur dosen, yang akan memberikan pendidikan kedokteran di rumah sakit pendidikan," kata Johanes.
Komponen ketiga yang tidak kalah penting, lanjutnya, adalah kolegium. Kolegium merupakan lembaga independen yang tidak berada di bawah instansi mana pun.
Isinya para ahli, dokter, dan guru besar yang memahami betul kurikulum pendidikan kesehatan.
"Berpuluh tahun sejak kemerdekaan kita pendidikan kedokteran dibangun oleh tiga komponen ini. Saat ini pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, tidak saja ingin memiliki dapur yaitu rumah sakit pendidikan, tapi pun mengambil alih kurikulum yang punya kolegium," ucap Johanes.
Ia menyebutkan, protes muncul karena Kemenkes kini membentuk kolegium versi pemerintah yang tidak lagi berada di bawah organisasi profesi dokter, melainkan di bawah Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), lembaga yang berada langsung di bawah naungan Kemenkes.
"Kita merasa ini merupakan ancaman yang berat bagi pendidikan kedokteran di kemudian hari," ujar Johanes.
Baca Juga: Desak Prabowo Evaluasi Menkes Budi Gunadi, Guru Besar FK Unpad Koar-koar Pengkhianatan Profesi
Gelombang penolakan dari kalangan akademik ini juga ditandai dengan maklumat yang disampaikan oleh sekitar 100 guru besar FK Unpad dari Bandung.
Dalam pernyataannya, mereka mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk mengevaluasi kinerja Menkes Budi Gunadi Sadikin.
Dalam pernyataan Maklumat Padjadjaran yang dibacakan di Gedung Koeswadji Unpad, Jalan Eyckman, Kota Bandung, Senin 19 Mei 2025, mereka menilai kebijakan yang telah diwacanakan dan atau ditempuh tidak hanya mencederai tata kelola sistem pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan nasional saja.
Namun, berpotensi juga meruntuhkan pilar-pilar etik, profesionalisme, dan otonomi keilmuan yang selama ini menjadi dasar keberlangsungan sistem kesehatan yang bermartabat dan berkeadilan.
"Kementerian Kesehatan RI telah bertindak melebihi kewenangan yang semestinya melekat pada jabatan sebagai pejabat negara yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan," kata Prof Dr Endang Sutedja mewakili forum guru besar.
![Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan penjelasan mengenai Indonesia yang dijadikan tempat uji coba vaksin TBC Bill Gates. [Suara.com/Bagaskara]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/05/08/63225-menteri-kesehatan-budi-gunadi-sadikin.jpg)
Pasca penerbitan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023, Menkes secara ekspansif mengambil alih fungsi desain dan pengelolaan pendidikan tenaga medis, termasuk pembentukan kolegium versi pemerintah tanpa partisipasi organisasi profesi dan universitas.
Kemudian penyederhanaan jalur kompetensi profesi medis melalui pelatihan teknis singkat, serta penerapan kebijakan Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit (RSPPU) secara unilateral, tanpa kerangka pendidikan tinggi.
Kebijakan pelaksanaan RSPPU yang cenderung sepihak dan mengabaikan ketentuan perundang-undangan menghapus peran universitas sebagai institusi akademik yang sah, melanggar prinsip otonomi ilmiah dan tridharma perguruan tinggi, serta berpotensi merusak mutu pendidikan spesialis dan sistem jaminan mutu pendidikan nasional.
"Tindakan tersebut telah mengabaikan fungsi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebagai otoritas penyelenggara pendidikan tinggi," ucapnya.
"Pendidikan profesi medis bukan domain administratif kementerian teknis, melainkan bagian dari sistem akademik nasional," jelasnya.
Lebih lanjut Endang mengatakan, saat rumah sakit vertikal menjadi pusat pendidikan tanpa integrasi akademik, fungsi keilmuan, evaluasi akademik, dan pertanggungjawaban publik terhadap mutu lulusan menjadi lenyap.
Tata kelola rumah sakit vertikal sebagai institusi pelayanan dan pendidikan klinik berada dalam kondisi rapuh dan tidak tersentuh reformasi.
Kasus-kasus pelanggaran etik dan hukum tidak ditindak sebagai masalah sistemik, tetapi dijadikan dalih untuk mendiskreditkan institusi akademik dan organisasi profesi.
"Ini adalah bentuk pemindahan tanggung jawab (displacement of accountability) yang tidak etis dan membahayakan sistem," ujarnya.
"Komunikasi publik Menteri Kesehatan tidak mencerminkan etika pejabat negara. Berbagai pernyataan spekulatif, tendensius, dan menyerang profesi secara menyeluruh memperburuk kepercayaan publik terhadap dokter dan lembaga pendidikan tinggi," tegasnya.
Endang mengatakan, dalam konteks demokrasi modern, komunikasi seorang menteri tidak sepatutnya menjadi alat framing kekuasaan, melainkan cerminan akal sehat negara.
Mereka juga meminta DPR RI segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) Reformasi Kesehatan Nasional guna menyelidiki dampak kebijakan Kemenkes terhadap sistem pendidikan dokter, tata kelola rumah sakit vertikal, serta koordinasi lintas kementerian dan lembaga negara.
Langkah protes ini menjadi sinyal kuat bahwa desain pendidikan kedokteran nasional sedang menghadapi pergeseran fundamental yang tidak hanya menyentuh aspek kelembagaan, tetapi juga masa depan kualitas pendidikan dokter di Indonesia.