Suara.com - Perubahan iklim bukan lagi isu masa depan, tetapi tantangan nyata yang kini dihadapi kota-kota di seluruh dunia. Salah satu hambatan utama adalah kurangnya sinergi antara pemerintah pusat dan daerah.
Meskipun terdapat komitmen bersama dalam berbagai kebijakan dan regulasi, implementasi di tingkat daerah seringkali menghadapi kendala. Hal ini disebabkan oleh perbedaan prioritas, kapasitas, dan sumber daya antara tingkat pemerintahan. Akibatnya, banyak rencana aksi iklim yang tidak berjalan optimal di lapangan.
Menurut laporan dari Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID), meskipun pemerintah pusat dan daerah telah menunjukkan komitmen melalui berbagai kebijakan dan regulasi, implementasinya di tingkat daerah masih menghadapi kendala. Kesenjangan ini menghambat efektivitas program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang seharusnya dilaksanakan secara terpadu.
Pendanaan menjadi isu krusial dalam pelaksanaan aksi iklim di tingkat daerah. Studi dari Carbon Disclosure Project (CDP) mengungkapkan bahwa pada tahun 2022, 16 pemerintah kota di Indonesia melaporkan proyek infrastruktur terkait perubahan iklim dengan total biaya sebesar 453 juta dolar AS.
Namun, hampir semua proyek tersebut membutuhkan pembiayaan sebagian atau penuh, menunjukkan adanya kesenjangan pendanaan yang signifikan.
Upaya Membangun Kolaborasi dan Meningkatkan Pendanaan
Keterbatasan akses terhadap sumber pendanaan alternatif, seperti dana tanggung jawab sosial (CSR) perusahaan, hingga obligasi hijau, juga menjadi tantangan tersendiri. Hal ini diperparah dengan ketergantungan tinggi terhadap pendanaan dari pemerintah pusat, yang seringkali tidak mencukupi untuk mendukung semua inisiatif iklim di daerah.
Di tengah urgensi tersebut, Forum Ketahanan Iklim dan Inovasi atau Climate Resilience and Innovation Forum (CRIF) 2025 resmi dibuka di Jakarta sebagai wadah kolaboratif lintas daerah dan negara untuk memperkuat kapasitas kota dan pemerintah daerah dalam menghadapi krisis iklim.
Lebih dari 300 peserta dari berbagai kota di Indonesia, Asia-Pasifik, dan Eropa berkumpul di Jakarta untuk membahas solusi konkret menuju masa depan yang siap melawan perubahan iklim. Forum ini digelar oleh United Cities and Local Governments Asia Pacific (UCLG ASPAC), bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan dukungan Uni Eropa.
Baca Juga: Kota Minyak Krisis BBM, Anak Wali Kota Balikpapan Diduga Doxing Netizen Pengkritik!
Mengusung tema “Empowering Cities and Local Governments for a Climate-Resilient Future”, CRIF 2025 menekankan pentingnya kepemimpinan lokal dalam menjawab tantangan krisis iklim yang bersifat multidimensi dan membutuhkan pendekatan lintas sektor serta lintas batas.
“Dibutuhkan sebuah komunitas untuk mengarusutamakan aksi iklim. Kota-kota tidak bisa hanya menjadi penonton, mereka adalah responden pertama dalam krisis ini,” ujar Dr. Bernadia Irawati Tjandradewi, Sekretaris Jenderal UCLG ASPAC dalam siaran pers yang diterima Suara.com, Kamis (22/5/2025).
Ia menambahkan bahwa keberhasilan aksi iklim bergantung pada peningkatan kapasitas, keberanian para pemimpin daerah, serta terciptanya kemitraan global yang saling memperkuat. Misalnya, dengan memulai pertukaran teknologi, dukungan kebijakan, hingga skema pembiayaan berkelanjutan.
Salah satu hasil nyata dari forum ini adalah penyerahan simbolis 10 Rencana Aksi Iklim (Climate Action Plans/CAP) kepada kota-kota peserta proyek Climate Resilient and Inclusive Cities (CRIC), yaitu Bandar Lampung, Cirebon, Samarinda, Pekanbaru, Banjarmasin, Pangkalpinang, Gorontalo, Kupang, Mataram, dan Ternate. Dokumen CAP tersebut dirancang untuk menjadi panduan strategis dalam menyelaraskan pembangunan daerah dengan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Forum ini juga menjadi ajang peluncuran pedoman penyusunan CAP berbasis pengalaman UCLG ASPAC dalam mendampingi lebih dari 20 kota di Asia-Pasifik, serta perkenalan City and Local Government (CLG) Institute, pusat riset dan manajemen pengetahuan untuk mendukung pembuatan kebijakan iklim berbasis data.
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Dalam Negeri, menyampaikan komitmennya terhadap agenda iklim. Disampaikan oleh Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan, Syafrizal ZA, pemerintah daerah didorong untuk mengintegrasikan isu iklim ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), sejalan dengan RPJPN 2025–2045 dan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 mengenai Nilai Ekonomi Karbon.