suara hijau

Di Balik Gegap Gempita Kemajuan AI Generatif: Ada Dampak Lingkungan yang Jarang Dibicarakan

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Rabu, 28 Mei 2025 | 09:45 WIB
Di Balik Gegap Gempita Kemajuan AI Generatif: Ada Dampak Lingkungan yang Jarang Dibicarakan
Ilustrasi artificial intelligence (AI). (Pexels)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Teknologi AI generatif telah merebut perhatian dunia. Potensinya luar biasa. Mulai dari meningkatkan produktivitas kerja, mempercepat riset ilmiah, hingga mengubah cara kita berinteraksi dengan teknologi.

Namun, di balik euforia dan janji masa depan yang efisien, ada persoalan yang tak kalah penting, yakni dampak lingkungan yang semakin sulit diabaikan.

AI generatif, seperti GPT-4 milik OpenAI, membutuhkan daya komputasi dalam jumlah besar. Proses pelatihannya melibatkan miliaran parameter.

Imbasnya? Konsumsi listrik melonjak. Emisi karbon meningkat. Tekanan pada jaringan listrik pun bertambah.

Tak hanya saat pelatihan, penggunaan model secara luas di kehidupan sehari-hari pun menyedot energi. Setiap perintah yang kita berikan pada ChatGPT, misalnya, membutuhkan daya komputasi dan energi yang tidak sedikit.

ilustrasi laman artificial intelligence (Unsplash.com/@jupp)
ilustrasi laman artificial intelligence (Unsplash.com/@jupp)

Tak berhenti di sana. Sistem pendingin pusat data membutuhkan air dalam jumlah besar. Artinya, pasokan air kota bisa terganggu, dan keseimbangan ekosistem ikut terancam.

“Ketika kita memikirkan dampak lingkungan dari AI generatif, bukan hanya listrik yang Anda konsumsi saat Anda mencolokkan komputer. Ada konsekuensi yang jauh lebih luas yang berlaku pada tingkat sistem dan bertahan berdasarkan tindakan yang kita ambil,” ujar profesor dari MIT sekaligus pimpinan Misi Dekarbonisasi dalam Proyek Iklim MIT, Elsa A. Olivetti seperti dikutip dari MIT News. 

Olivetti adalah salah satu penulis makalah Implikasi Iklim dan Keberlanjutan dari AI Generatif, yang dipublikasikan tahun 2024. Makalah ini merupakan tanggapan atas seruan MIT untuk mengeksplorasi dampak AI generatif secara holistik—baik sisi terang maupun bayangannya.

Pusat Data, Sumber Daya, dan Dilema Energi

Baca Juga: Telkom dan Zoom Jalin Kerja Sama Hadirkan Solusi Berbasis AI untuk Pasar B2B

Pusat data adalah tulang punggung operasional AI generatif. Tempat infrastruktur seperti server dan peralatan jaringan bekerja siang malam. Amazon, sebagai contoh, memiliki lebih dari 100 pusat data di seluruh dunia. Tiap-tiapnya menampung sekitar 50.000 server.

“Yang membedakan AI generatif adalah kepadatan daya yang dibutuhkannya. Klaster pelatihan AI generatif mungkin mengonsumsi energi tujuh atau delapan kali lebih banyak daripada beban kerja komputasi biasa,” jelas Noman Bashir, penulis utama makalah tersebut dan fellow di MIT Climate and Sustainability Consortium.

Ilustrasi Data Center, BDx Dorong Perkembangan Pusat Data AI di Indonesia, Sabtu (19/4/2025). [Pexels]
Ilustrasi Data Center, BDx Dorong Perkembangan Pusat Data AI di Indonesia, Sabtu (19/4/2025). [Pexels]

Data dari 2022 hingga 2023 menunjukkan lonjakan signifikan. Kebutuhan daya pusat data di Amerika Utara naik dari 2.688 megawatt menjadi 5.341 megawatt. Konsumsi listrik global pusat data juga meningkat jadi 460 terawatt—menjadikannya konsumen listrik terbesar ke-11 di dunia.

Diproyeksikan pada 2026, angka ini bisa menembus 1.050 terawatt—cukup untuk menyalip Jepang dan menempati posisi kelima global.

“Permintaan untuk pusat data baru tidak dapat dipenuhi secara berkelanjutan. Sebagian besar listrik yang digunakan masih bersumber dari pembangkit berbahan bakar fosil,” tambah Bashir.

AI yang Tak Pernah Istirahat

Selesai pelatihan bukan berarti selesai konsumsi energi. Setiap permintaan pengguna, dari menyusun email hingga membuat gambar, mengaktifkan proses inferensi yang memakan daya cukup besar. Bahkan, satu permintaan di ChatGPT bisa mengonsumsi listrik lima kali lebih banyak dari pencarian web biasa.

“Tetapi pengguna sehari-hari tidak terlalu memikirkannya,” kata Bashir. “Kemudahan penggunaan dan kurangnya informasi membuat kita tak punya insentif untuk mengurangi pemakaian.”

Seiring meningkatnya adopsi, permintaan listrik untuk proses inferensi diperkirakan akan mendominasi. Versi model yang lebih besar dan kompleks akan mendorong konsumsi energi yang lebih besar pula.

Yang juga menjadi perhatian: umur model AI generatif sangat pendek. Versi baru dirilis hampir setiap minggu. Energi untuk melatih versi sebelumnya pun jadi mubazir.

Dibalik Asap dan Air

Tak hanya listrik, air pun menjadi korban.

Untuk setiap kilowatt-jam energi yang digunakan pusat data, dibutuhkan sekitar dua liter air untuk pendinginan. Air dingin menyerap panas dari perangkat keras. Jika penggunaan ini tak dikontrol, akan ada risiko bagi keanekaragaman hayati di sekitar pusat data.

“Hanya karena ini disebut ‘komputasi awan’ bukan berarti perangkat kerasnya ada di awan,” ujar Bashir.

Tambahan dampak datang dari produksi perangkat keras seperti GPU—prosesor yang sangat bertenaga untuk AI generatif. Proses pembuatannya kompleks dan intensif energi. Ditambah lagi, emisi dari proses distribusi serta penambangan material mentah semakin menambah jejak karbon.

Tahun 2023, tiga produsen besar—NVIDIA, AMD, dan Intel—mengirimkan 3,85 juta GPU ke pusat data. Jumlah ini naik tajam dari tahun sebelumnya dan diprediksi terus meningkat pada 2024.

Menuju AI Generatif yang Bertanggung Jawab

Olivetti, Bashir, dan para kolega mereka menyuarakan satu hal penting: perubahan. Pengembangan AI generatif harus dilakukan secara bertanggung jawab. Setiap manfaatnya harus ditimbang bersamaan dengan seluruh biaya lingkungan dan sosialnya.

“Kita memerlukan cara yang lebih kontekstual untuk memahami implikasi dari perkembangan baru di bidang ini secara sistematis dan komprehensif,” pungkas Olivetti.

“Karena kecepatan peningkatan yang terjadi, kita belum punya cukup waktu untuk mengejar kemampuan kita dalam mengukur dan memahami tradeoff.”

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI