Berdiri Sejak Era Soeharto, Perjalanan Panjang PT Gag Nikel Kantongi Izin Tambang di Raja Ampat

Sabtu, 07 Juni 2025 | 21:56 WIB
Berdiri Sejak Era Soeharto, Perjalanan Panjang PT Gag Nikel Kantongi Izin Tambang di Raja Ampat
Suasana pertambangan nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat Daya, Sabtu (7/6/2025). (ANTARA/Putu Indah Savitri)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Perjalanan panjang perusahaan tambang PT Gag Nikel dalam memperoleh dan mempertahankan izin pertambangan di wilayah Pulau Gag, Raja Ampat, menjadi kisah yang sarat dinamika antara regulasi, kepentingan investasi, dan keberlanjutan lingkungan.

Perusahaan ini berdiri pada 1998 sebagai hasil kerja sama antara raksasa tambang asal Australia, BHP Billiton, melalui anak usahanya Asia Pacific Nickel yang memegang 75 persen saham), dan PT Aneka Tambang (ANTAM) sebagai perusahaan milik negara Indonesia memegang 25 persen.

Kontrak Karya (KK) Generasi VII PT Gag Nikel ditandatangani langsung oleh Presiden Soeharto pada 19 Januari 1998, menjadikan perusahaan ini resmi beroperasi di bawah naungan hukum pertambangan Indonesia.

Namun, perjalanan tak mulus. Pada tahun 2004, terbitnya Keputusan Presiden No. 41 tahun 2004 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri memberikan pengecualian bagi 13 perusahaan tambang, termasuk PT Gag Nikel, untuk tetap beroperasi di kawasan hutan lindung.

Hal ini menjadi kontroversial karena bertentangan dengan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang melarang pertambangan terbuka di kawasan tersebut.

Dilansir dari laporan RMI, pemerintah saat itu beralasan bahwa 13 perusahaan ini telah mengantongi Kontrak Karya sebelum lahirnya UU Kehutanan, sehingga diberikan dispensasi khusus.

Kondisi kepemilikan berubah drastis pada 2008. BHP Billiton memutuskan untuk menarik diri dari proyek ini, dan seluruh kepemilikan dialihkan ke PT ANTAM, yang selanjutnya menguasai penuh PT Gag Nikel.

Meskipun Asia Pacific Nickel masih terdaftar di Australia, kontrol operasional berada sepenuhnya di tangan BUMN Indonesia tersebut.

Konsesi yang dikuasai PT Gag Nikel di Pulau Gag sangat luas, mencapai 13.136 hektare, dengan rincian daratan 6.060 hektare dan lautan 7.076 hektare. Ini berarti hampir seluruh wilayah daratan pulau Gag yang hanya memiliki luas 6.500 hektare termasuk dalam konsesi perusahaan.

Baca Juga: Susi Pudjiastuti Bongkar Fakta Tambang Swasta di Raja Ampat, Sindir Balik Menteri ESDM Bahlil

Satu persoalan hukum lain muncul: UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa pulau kecil dengan luas kurang dari 200.000 hektare tidak diperbolehkan menjadi lokasi aktivitas pertambangan.

Pulau Gag termasuk dalam kategori ini. Maka, keberadaan Gag Nikel pun kembali menjadi sorotan.

Pro Kontra Tambang Nikel

Dalam konteks inilah, pada Sabtu, 7 Juni 2025, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia melakukan kunjungan langsung ke Pulau Gag.

Kunjungan ini dilakukan sebagai tanggapan atas berbagai laporan dan protes yang mencuat ke publik terkait dugaan kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang di pulau tersebut.

Namun, berbeda dari yang ramai diberitakan, masyarakat Pulau Gag justru menyambut Bahlil dengan spanduk dan sorakan yang meminta agar kegiatan operasional tambang tidak dihentikan.

“Laut kami bersih, berita Pulau Gag hancur itu hoaks,” demikian bunyi salah satu spanduk.

Seorang warga, Friska, menyampaikan langsung kepada Bahlil, “Tidak ada itu pak isu itu, laut kami bersih, hoaks itu kalau Pulau kami rusak, alam kami baik-baik saja, pak.”

Bahlil pun menyatakan bahwa kunjungannya bertujuan untuk melihat langsung kondisi di lapangan secara objektif.

“Saya datang ke sini untuk mengecek langsung, untuk melihat secara objektif apa yang sebenarnya terjadi,” katanya dikutip dari ANTARA

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia berkunjung ke Raja Ampat, Papua Barat untuk memeriksa tambang nikel pada Sabtu (7/6/2025). [Antara]
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia berkunjung ke Raja Ampat, Papua Barat untuk memeriksa tambang nikel pada Sabtu (7/6/2025). [Antara]

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Tri Winarno dikutip dari ANTARA, menjelaskan bahwa dari hasil peninjauan, tidak tampak ada sedimentasi di pesisir.

Ia juga menilai bukaan lahan tambang tidak besar. Dari total 263 hektare lahan yang telah dibuka, 131 hektare telah direklamasi, dan 59 hektare dinyatakan telah berhasil direklamasi.

“Secara keseluruhan, tambang nggak ada masalah,” kata Tri.

Meski demikian, pemerintah belum memutuskan kelanjutan operasi tambang. PT Gag Nikel masih menanti hasil evaluasi dari Kementerian ESDM.

Saat ini, operasional tambang dihentikan sementara, menyusul instruksi Menteri Bahlil dalam konferensi pers di Jakarta pada 5 Juni 2025. Penghentian ini dilakukan untuk menindaklanjuti pengaduan masyarakat dan memastikan seluruh prosedur dijalankan sesuai ketentuan.

Dalam catatan regulasi, PT Gag Nikel saat ini beroperasi dengan skema Kontrak Karya berdasarkan akte perizinan bernomor 430.K/30/DJB/2017 yang tercatat dalam aplikasi Mineral One Data Indonesia (MODI), dengan wilayah izin pertambangan seluas 13.136 hektare.

Operasional Sejak 2018

Operasional aktif dimulai pada 2018 setelah perusahaan mengantongi analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). 

Bahlil menegaskan bahwa dari beberapa perusahaan tambang yang memiliki izin di Raja Ampat, hanya PT Gag Nikel yang saat ini masih aktif beroperasi.

“Izin pertambangan di Raja Ampat itu ada beberapa, mungkin ada lima. Nah, yang beroperasi sekarang itu hanya satu yaitu GAG. GAG Nikel ini yang punya adalah Antam, BUMN,” ujar Bahlil.

Pertanyaan publik kini berfokus pada bagaimana pemerintah menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang melarang penambangan di wilayah pesisir dan pulau kecil karena berisiko menimbulkan kerusakan lingkungan yang tak dapat dipulihkan.

Ilustrasi Raja Ampat (Unsplash/Ernests Vaga)
Ilustrasi Raja Ampat (Unsplash/Ernests Vaga)

Namun, Dirjen Minerba Tri Winarno menegaskan bahwa sesuai UU No. 2 Tahun 2025 tentang Minerba, izin tambang yang telah diberikan tidak akan mengalami perubahan tata ruang.

“Di situ (UU Minerba) dinyatakan bahwa izin yang sudah diberikan itu tidak akan mengalami perubahan tata ruang,” kata Tri.

Ia juga menekankan bahwa PT Gag Nikel termasuk salah satu dari 13 Kontrak Karya yang mendapat pengecualian dari larangan aktivitas pertambangan di kawasan hutan lindung.

Perjalanan panjang Gag Nikel di Raja Ampat, dari masa Orde Baru hingga kini, mencerminkan kompleksitas tata kelola tambang di Indonesia.

Antara kepastian hukum investasi dan perlindungan lingkungan, pemerintah kini dihadapkan pada pilihan yang akan berdampak luas bagi masa depan pulau kecil yang kaya sumber daya ini.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI