Suara.com - Polemik soal tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat kekinian menjadi sorotan publik. Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti turut angkat bicara soal kawasan pariwista berjuluk 'Surga Terakhir di Bumi' yang kini sedang dieksploitasi sumber daya alamnya.
Lewat cuitan di akun X pribadinya pada Senin (9/6/2025), pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu menyinggung akal sehat berkaitan dengan tambang nikel di Raja Ampat yang disebut-sebut telah mengantongi izin usaha pertambangan alias IUP.
"Tambang Nikel di Raja Ampat punya izin resmi, katanya. Nah, kita yg berakal sehat mesti paham beda “izin resmi” dengan “salah tapi diresmikan”, “legal” dengan “etik lingkungan," cuit Bivitri Susanti sebagaimana dikutip Suara.com pada Senin.
Di tengah polemik tambang nikel di Raja Ampat, peneliti Hukum yang akrab disapa Bibip itu juga terang-terangan menyindir soal hukum yang disebutnya hanya menjadi alat kekuasaan.

"Resmi dan legal bukan berarti benar. Hukum di sini cuma tameng penguasa culas," sindir Bibip.
Cuitan Bibip yang menyoroti soal tambang nikel di Raja Ampat turut menuai atensi dari warganet. Hingga pukul 20.16 WIB, cuitan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera itu mendapat 5 ribu suka, 3 ribu posting ulang hingga 99 komentar.
Bivitri juga ikut menanggapi cuitan dari netizen setelah dirinya meluapkan uneg-unegnya soal polemik tambang nikel di Raja Ampat.
"Orang benar seperti Anda gak banyak punya tempat di Konaha. Pemerintah melegitimasi kerakusan, plus sewa bajer b****at," tulis seorang warganet.
"Gpp, saya nggak cari tempat juga sih. Udah happy dengan tempat sendiri," timpal Bivitri dengan membubuhi emoji senyum.
Baca Juga: Ogah Pusing, TNI soal Kabar Prajurit Bekingi Tambang Ilegal di Papua: Laporkan jika Ada Bukti!
"Be fight mbak. Saya salah satu pengagum rasionalitas Mbak Vit. Di sini juga ada tpt buat sampean.....sehat dan bugar olwes," balas lagi netizen usai komentarnya ditanggapi Bivitri.
Diberitakan sebelumnya, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Susi Pudjiastuti secara blak-blakan menolak adanya eksplorasi pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat. Bahkan, Susi Pudjiastuti memohon kepada Presiden Prabowo Subianto untuk segera menghentikan kegiatan pertambangan nikel di daerah yang dijuluki 'Surga Terakhir di Bumi' itu.
Dilihat Suara.com dalam cuitan Susi di platform X pada (9/6/2025), pemilik maskapai Susi Air itu juga menyebut nama akun X milik Prabowo sembari mengunggah akun emoji tangan melipat.
"Pak Presiden @prabowo mohon dengan sangat hentikan semua Penambangan di sekitar Raja Ampat," tulis Susi Pudjiastuti.
Cuitan Susi Pudjiastuti itu menanggapi sebuah artikel di salah satu media nasional yang menyebut jika pencabutan izin tambang di kawasan Raja Ampat belum betul-betul dilakukan oleh pemerintah. Dalam artikel itu, disebutkan jika masiih ada lima izin tambang yang masih aktif di Raja Ampat.
Polemik Tambang Nikel di Raja Ampat
Diketahui, Raja Ampat kini menjadi sorotan setelah terungkap praktik eksplorasi pertambangan nikel di kawasan 'Surga Terakhir di Bumi' itu. Buntut polemik itu, kalangan aktivis hingga selebriti secara blak-blakan memprotes adanya tambang nikel dengan menggemakan Save Raja Ampat.
Diberitakan sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dinilai keliru bila menganggap biasa penambangan nikel di area Raja Ampat tidak akan berdampak buruk hanya karena jaraknya puluhan kilometer dari lokasi pulau yang jadi tempat wisata.
Juru kampanye Trend Asia, Arko Tarigan, melontarkan kritik kalau narasi Bahlil justru seolah menyederhanakan kompleksitas kerusakan lingkungan pulau-pulau kecil di Raja Ampat, Papua, yang jadi sasaran penambangan.
"Kalau kata Pak Menteri ESDM Bahlil, itu jauh 30-40 km dari pertambangan, tapi dalam satu konteks, dia tidak bisa mengerucutkan karena jauh jadi tidak kelihatan, tidak berdampak, dan lain sebagainya. Nggak bisa gitu," kata Arko dikutip dari tayangan Live Instagram bersama Koreksi.org, Senin (9/6/2025).
Arko menambahkan, pemerintah seharusnya juga memikirkan dampak kerusakan lingkungan yang bisa terjadi di pulau kecil itu bila dilakukan penambangan.
Sekalipun lokasinya jauh dari tempat wisata, namun aktivitas penambangan justru merusak sumber daya alam dan merugikan masyarakat yang tinggal di pulau kecil tersebut.
Arko menyebutkan, kondisi itu yang kini telah dialami oleh masyarakat di Pulau Wawonii, Kepulauan Konawe, Sulawesi Tenggara.
Temuan dari Trend Asia, sumber air di pulau Wawonii tercemar sejak adanya aktivitas penambangan nikel dari PT Gemak Kerasi Perdana (GKP), yang merupakan salah satu anak perusahaan dari Harita Grup.
![Menteri ESDM Bahlil Lahadalia saat mengunjungi lokasi tambang nikel di Pulau Gag, Raja Ampat [Suara.com/Kementerian ESDM]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/06/09/58315-bahlil-lahadalia.jpg)
"Pulau itu sudah tercemar, aliran airnya tercemar. Warga menggunakan air yang bercampur lumpur. Belum lagi banyak masalah kasus dan lain sebagainya, belum lagi konteks kriminalisasi yang terjadi ketika warga tidak memberikan tanahnya," tuturnya.
Tidak seperti pulau besar, Arko menjelaskan bahwa pulau kecil umumnya tidak bisa memperbaiki alamnya sendiri secara natural bila sudah rusak. Sehingga, ketika lingkungan suatu pulau rusak akibat aktivitas penambangan, tetap ada masyarakat yang menjadi korban.
"Ini bukan hanya soal masalah yang dikerucutkan terkait 30 sampai 40 km, apa dengan kata-kata, oh yaudah, ini satu tempat adalah aktivitas wisatawa dan lain sebagainya, bukan soal itu. Tapi tentang bagaimana orang-orang yang ada di pulau itu menjadi korban dari embel-embel transisi energi yang digaungkan pemerintah," tegasnya.
Ia juga menyoroti sejumlah pulau kecil seperti Pulau Gag, Manuran, Batang, Tele, dan Waego yang berada dalam kawasan Raja Ampat, Papua.
Menurut Arko, seluruh pulau tersebut telah masuk dalam kategori pulau-pulau kecil, sehingga seharusnya dilarang untuk aktivitas pertambangan.
Arko menyebut, pemerintah sebenarnya sudah tahu adanya peraturan yang melarang aktivitas tambang di pulau kecil melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K). Namun, izin usaha penambangan (IUP) tetao diberikan kepada pihak perusahaan.
"Salah satu contoh Pulau Gag itu perjanjian kontrak karya, keluar izin pinjam pakai kawasan hutan yang diterbitkan oleh KLHK. Ini berarti konteksnya pemerintah menerbitkan izin pinjam pakai kawasan hutan. Sedangkan pemerintah sudah tahu ada regulasi tentang undang-undang perlindungan pulau-pulau kecil, tapi yang memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan itu adalah kementerian," kritiknya.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan bahwa hingga saat ini sudah ada lima perusahaan tambang yang memiliki izin resmi untuk beroperasi di wilayah Raja Ampat, Papua Barat.
Dua perusahaan yang memperoleh izin dari pemerintah, yaitu PT Gag Nikel dengan izin Operasi Produksi sejak tahun 2017 dan PT Anugerah Surya Pratama (ASP) dengan izin Operasi Produksi sejak tahun 2013.
Sementara, tiga perusahaan lainnya memperoleh izin dari Pemerintah Daerah (Bupati Raja Ampat), yaitu PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) dengan IUP diterbitkan pada tahun 2013, PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) dengan IUP diterbitkan pada tahun 2013, dan PT Nurham dengan IUP diterbitkan pada tahun 2025.